"Pokoknya kita kerja apa pun yang bisa menghasilkan," katanya lebih lanjut.
Di masa kecilnya, Wilona harus tinggal di rumah kecil beratap kayu yang penuh nyamuk.
Biaya kontrak rumah tersebut senilai Rp 2,5 juta per tahun karena hanya itu yang mampu diberikan orang tuanya.
Rumah tersebut tidak beralas lantai bersih, melainkan tanah yang kotor.
Atapnya pun tidak kokoh, sehingga Wilona dan keluarga harus was-was ketika hujan datang.
"Jadi rumahnya sudah terbayang ya seperti apa. Rumahnya itu memang rumah kayu, adanya di gang kecil, terus bawahnya itu tanah," ujar Wilona.
"Kita itu enggak ada atap, maksudnya memang benar-benar kayu. Jadi tidur kita pakai kelambu supaya enggak kena nyamuk," lanjutnya.
Saat Wilona berusia 6 tahun, ibunya kembali membawanya ke Jakarta dengan keadaan yang masih belum stabil.
Tidak jauh berbeda dari nasibnya di Banjarmasin, Wilona harus tinggal di kos-kosan sempit yang panas.
Tinggal bersama kakak dan ibunya, kosan itu terasa semakin sempit, mereka pun harus berbagi keringat setiap harinya karena udara yang sesak.
Source | : | parapuan.co |
Penulis | : | None |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar