Dokter memberi tahu Hayley bahwa dia perlu memulai HRT, yang akan melindungi tulangnya dari osteoporosis dan juga memberinya pendarahan bulanan, seperti menstruasi, untuk menjaga rahimnya tetap sehat jika dia ingin mencoba IVF yang disumbangkan telur ketika dia lebih tua.
“Pada saat itu, saya bahkan belum mempertimbangkan untuk memiliki anak saya sendiri karena masih anak-anak.
Jadi saya tidak benar-benar mengerti bagaimana hal itu akan berdampak pada saya di kemudian hari," ungkapnya.
“Mereka tidak menjelaskan apa-apa lagi, saya tidak diberi apa-apa untuk dibaca.
Saya baru saja meninggalkan ruangan itu dengan resep HRT dan hanya itu," imbuhnya.
Kembali Sekolah
Setelah pemeriksaan itu, Hayley kembali beraktivitas seperti biasanya.
Ia kembali ke sekolah, namun tidak menceritakan pada siapa pun atas apa yang dialaminya.
"Saya kebanyakan merasa seperti remaja normal karena HRT membantu hot flushes dan keringat malam saya, ditambah lagi saya diberi pendarahan bulanan jadi saya masih mengobrol tentang hal-hal seperti tampon dengan gadis-gadis lain," ceritanya.
Kendati demikian, Hayley rupanya merasa cemas.
Pasalnya gejala menopause itu semakin terlihat.
“Tetapi ada kelelahan, kecemasan, penipisan rambut dan setiap gejala perimenopause yang mungkin Anda dapatkan, saya masih mendapatkannya.
Itu emosional, menakutkan, dan terkadang sangat kesepian.” ungkapnya.
Ketika teman-teman Hayley mulai memiliki anak di usia dua puluhan, dia mulai menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dia alami.
Berduka karena kehilangan kesuburannya, dia merasa gagal dan mulai membenci orang yang menatapnya di cermin.
Dengan kondisinya, Hayley pun ragu untuk menjalin hubungan.
Ia bahkan mendorong pria menjauh karena saya tidak ingin harus memberi tahu mereka dan berbagi hal paling rahasia dalam hidup saya.
"Beberapa kali, ketika saya memberi tahu mereka, mereka tidak terlalu menerima. Itu sulit.” ungkapnya.
Hingga di tahun 2011, Hayley bertemu suaminya, Gavin, sekarang 33, melalui teman bersama.
Pria itu bisa menerima diagnosisnya.
“Kami berteman sebelum kami bersama, dan dia telah mendengar melalui selentingan bahwa saya tidak dapat memiliki anak.
Itu sangat mengasingkan dan saya pikir saya sedikit aneh.
Ketika kami mulai berkencan, saya merasa nyaman untuk langsung membicarakannya.
Dia begitu pengertian dan meyakinkan saya bahwa kami akan memiliki keluarga kami suatu hari nanti.
Setelah kami menikah pada tahun 2013, kami mulai mencari berbagai cara agar kami dapat memiliki anak," ujarnya.
Source | : | Kompas.com,tribunnewsmaker,The Sun |
Penulis | : | Luvy Octaviani |
Editor | : | Luvy Octaviani |
Komentar