Ia hadir bersama para pegiat lingkungan dan akademisi dari berbagai belahan dunia.
Di antara narasumber lain yang sudah memegang gelar profesor dan doktor, pelajar kelahiran Sidoarjo, 17 Mei 2007 itu tampak sangat menonjol.
Hal itulah yang membuat media Die Zeit pada akhirnya terpukau dan mengangkat kisah salah satu anak bangsa ini, Aeshnina Azzahra.
Awal mula ketertarikannya dengan isu lingkungan
Awal mula perempuan yang saat ini sedang mengikuti Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26 Glalow) itu tertarik akan isu lingkungan adalah karena kondisi lingkungan sekitarnya.
“Saya tertarik untuk mengampanyekan sampah impor karena saya sebagai anak muda Indonesia tidak terima jika tempat tinggal saya dijadikan tempat sampah,” ujar Nina, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (27/11/2021).
“Apalagi untuk negara maju yang memiliki fasilitas yang lebih layak daripada Indonesia,” lanjutnya.
Gadis berusia 14 tahun itu mengatakan, pabrik kertas di Indonesia menerima impor kertas dari negara maju untuk kemudian didaur ulang.
Akan tetapi, hal yang ia sayangkan, negara maju justru menyelundupkan sampah plastik dalam sampah kertasnya.
Akibatnya, ketika pabrik kertas mengambil sampah kertasnya, sisa sampah plastiknya akan dibuang ke desa yang terletak di sekitar pabrik tersebut.
Salah satu desa yang disebutkan oleh Nina adalah Desa Bangun, desa terbesar yang kerap menerima sampah plastik dalam jumlah terbesar se-Jawa Timur.
Source | : | Parapuan.co |
Penulis | : | None |
Editor | : | Veronica S |
Komentar