GridPop.ID - Terinspirasi dari bisnis sabun yang turun temurun di keluarganya, perempuan asal Semarang, Siany Wulandari membangun bisnis sabun “Lunaraya” di Amerika Serikat.
Sejak kecil rupanya Siany sudah mengenal proses pembuatan sabun dan juga melihat berbagai kegiatan di pabrik sabun keluarganya.
Ia pun juga sudah mengenal beragam aroma dan bahan yang digunakan untuk membuat sabun.
Namun, mengingat bahan yang digunakan berbeda dengan di Indonesia, Siany harus kembali belajar.
Melansir dari Kompas.com, ketika pandemi Covid-19 melanda AS, Siany yang jadi memiliki lebih banyak waktu luang lantas menggunakan kesempatan tersebut untuk mengulik lebih lanjut cara membuat sabun sendiri.
Awalnya, Siany melakukan riset untuk membuat sabun yang cocok bagi kulitnya yang sensitif akan bahan kimia SLS (Sodium Lauryl Sulfate) yang biasa terkandung dalam sabun dan sampo.
Namun, siapa yang sangka bahwa hasil risetnya itulah yang lalu membuka jalan baginya untuk membangun bisnis di AS.
Hingga kini, Lunaraya memiliki berbagai produk sabun, bath salt, dan produk perawatan tubuh yang bisa dibeli secara daring atau juga di berbagai festival dan pasar kaget di sekitar Seattle, dengan harga sekitar 10 dollar AS atau Rp 145.000.
Melalui produk-produk buatannya, Siany mengutamakan bahan yang alami, dengan tampilan bentuk dan unsur seni yang cantik, seperti batu permata, serta warna yang menarik.
Tidak hanya itu, seluruh produk Lunaraya juga minim sampah, tidak menggunakan plastik dan menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang.
Semua ini membuat produk Siany memiliki daya tarik tersendiri, khususnya bagi beragam pelanggannya yang mencari sabun berbahan organik dan alami, juga pelanggan yang menyukai unsur seni pada sabun Lunaraya.
Tidak lupa akan tanah airnya, Siany berusaha menyelipkan unsur Indonesia dalam produk-produknya, salah satunya melalui bath salt dengan bunga asli, di mana ia memperkenalkan tradisi mandi bunga yang tidak begitu lazim di AS.
Ia pun menamakan produk istimewanya ini Bali Vibes.
“Kenapa pakai nama Bali? Karena ya orang lebih sangat mengenal Bali dan di Bali itu kita ke mana-mana kan ada bunga mawar, ada pakai pandan, ada pakai melati, untuk ritual, untuk apa, sama halnya dengan bagian lain di Indonesia.
Tapi di sini kita bisa kenalin itu untuk mandi bunga, ada mawar, bisa pakai pandan, gitu, enggak sekadar bunga-bunga yang orang di sini udah kenal dan orang lain jual gitu,” kata Siany.
“Dan kalau untuk orang-orang yang pernah ke Bali mereka langsung, ‘oh ini memang baunya Bali,’” tambahnya lagi.
Pelanggan Lunaraya, Karen Argopradipto di Seattle bahkan mengatakan, sabun-sabun karya Siany ini “bikin mandi terasa lebih mewah.”
Setiap minggunya Siany memproduksi hingga 150 produk sabun. Biasanya ia bekerja sampai 12 jam setiap hari.
Kerja kerasnya terbayarkan saat para pelanggan memuji hasil karyanya.
Awalnya, cita-cita Siany sempat kurang didukung oleh keluarga.
Keinginannya dipertanyakan, mengingat betapa melelahkannya bisnis sabun yang digeluti oleh keluarganya ini, khususnya ketika memproduksi sabun dengan cara yang tradisional tanpa menggunakan mesin.
Namun, usaha dan tekad bulat Siany ternyata tidak sia-sia. Rasa lelahnya terbayarkan ketika bertemu pelanggan yang mengapresiasi produk hasil karyanya.
“Cuman ternyata setelah saya jalani di sini, orang itu appreciate sama apa yang kita bikin gitu. Enggak melulu kayak oh sabun itu hanya utuk mandi, pakai sabun apa aja bisa, cari yang murah atau apa nggak, mereka benar-benar appreciate, 'oh ini benar-benar dibikin dengan sepenuh hati dengan bahan yang baik,' atau 'ini cantik,' seperti itu,” kata Siany.
Tidak hanya dari pelanggan, beberapa anggota keluarga Siany di Indonesia pun menjadi terdorong dan tersinspirasi untuk melanjutkan kembali usaha sabun yang sempat terhenti.
Bagi Siany, kunci utama dalam menjalankan bisnis ini adalah “dijalani saja.” “If it’s not good, it’s not the end yet,” katanya. “Kalau belum baik itu berarti belum berakhir.”
Diberitakan GridPop.ID sebelumnya, seorang pengusaha asal Blora, Jawa Tengah, bernama Ai Dudi Krisnadi, ini juga mempromosikan produknya di luar negeri.
Mengkombinasikan aspek lokal budaya dan sains, ia tekun menggeluti budidaya dan olahan berbagai produk ekspor dari daun kelor.
Setelah dari kegiatan di Filipina, banyak orang dari luar negeri yang datang ke Blora untuk mencari tahu dan membuktikan produk kelor yang dikembangkan oleh Dudi.
Ada yang jauh-jauh terbang dari Jerman, Israel, Arab Saudi, bahkan dari Amerika Serikat dan Kanada.
Saat awal menjalani bisnis tersebut, ia mengaku banyak menghadapi kendala.
Tak cukup dianggap gila, ia sempat diusir lantaran usaha tanaman kelornya yang luas. Kelor, bagi sebagian masyarakat, dikaitkan dengan perihal mistis.
Pria berusia 52 tahun itu lalu mengikuti simposium Moringa Internasional di Filipina untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia kelor dengan membawa produk coklat kelor.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,GridPop.ID |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar