Edukasi itu juga termasuk bagaimana membedakan terminologi tuna rungu dan tuli.
“Selama ini, masyarakat memakai kata tunarungu dan menganggap kata tuli itu sebagai bahasa kasar. Buat kami, tunarungu justru kasar. Tuli merupakan terminologi sosial budaya, merepresentasikan bahwa kami adalah pengguna bahasa isyarat. Tidak ada malu,” kata Surya yang menjadi delegasi tuli asal Indonesia ke PBB dan NASA pada tahun lalu.
Kata tunarungu justru berasal dari persepsi medis. Tuna berarti rusak sehingga tuna rungu bermakna rusak pendengaran.
“Harus diperbaiki supaya bisa mendengar. Kami tidak butuh. Nggak bisa dengar enggak masalah. Masih ada cara lain seperti bahasa isyarat, terapi wicara, baca bibir. Masih bisa cara lain. Kami mengedukasi supaya semakin banyak masyarakat yang tahu. Orang berfikir bahasa isyarat hanya untuk orang tuli saja. Padahal tidak,” tambah Surya yang kini aktif dalam dunia advokasi untuk pemenuhan hak orang tuli.
Dengan belajar bahasa isyarat, masyarakat tak hanya bisa berkomunikasi dengan orang tuli. Bahasa isyarat ternyata mampu membuat otak lebih aktif.
Bahasa isyarat tidak hanya melibatkan kelincahan tangan, tetapi juga gerakan ekspresi di wajah.
Semakin banyak bahasa isyarat yang digunakan maka semakin ekspresif seseorang.
Ibarat senam muka, ekspresi intens ketika berbahasa isyarat itulah yang menjadi kunci awet muda dan membentuk wajah yang selalu tersenyum seperti yang dimiliki Surya.
Diberitakan Tribun Style, Surya Sahetapy divonis tuli sejak berusia 2 tahun.
Source | : | Kompas.com,Tribun Style |
Penulis | : | Veronica S |
Editor | : | Veronica S |
Komentar