GridPop.ID - Setelah satu bulan penuh umat Muslim menunaikan ibadah Puasa Ramadhan, tibalah saatnya untuk menyambut kemenangan di hari raya Idul Fitri.
Masyarakat Indonesia memiliki sebutan berbeda untuk Hari Raya Idulfitri.
Alih-alih menyebut dengan lengkap sebagai Hari Raya Idul Fitri, banyak orang lebih senang menyebut dengan Lebaran.
Tapi tahukah Anda dari mana asal kata 'Lebaran' yang digunakan untuk menyebut hari besar umat Islam ini?
Istilah Lebaran memang sudah lama digunakan, namun hingga kini belum diketahui pasti sumber tertulis dari istiah tersebut.
Menurut pengamat bahasa, selain bukti tertulis belum diketahui juga secara pasti waktu penggunaan istilah Lebaran untuk pertama kalinya.
Dilansir dari Bobo.ID, disebutkan bahwa kata tersebut bukan berasal dari bahasa Arab layaknya kata Idulfitri.
Pada beberapa sumber tersier menuliskan bahwa kata itu kemungkinan berasal dari bahasa daerah.
Ada empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata Lebaran, yaitu bahasa Jawa "lebar" (selesai), bahasa Sunda "lebar" (melimpah), bahasa Betawi "lebar" (luas), dan bahasa Madura "lober" (tuntas).
Bahkan seorang sastrawan Sunda menyebut bawah kata Lebaran justru berasal dari tradisi Hindu.
Selain itu, diperkirakan juga oleh sang sastrawan bahwa tradisi perayaan Lebaran sudah dilakukan sejak abad ke-15 di Jawa.
Tradisi itu dilakukan oleh Sunan Bonang yang merupakan salah satu Wali Songo yang ada di Indonesia untuk menyebarkan agama Islam.
Meski begitu, ahli bahasa Indonesia masih belum bisa memastikan tentang asal dari istilah Lebaran.
Bahkan disebut juga istilah lebaran belum pasti benar merujuk pada selesainya puasa Ramadan selama sebulan penuh.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Lebaran diartikan sebagai hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
Dilansir dari Tribun Pontianak, ada sebuah riwayat yang menceritakan tentang asal mula terjadinya Hari Raya Idul Fitri disyari'atkan pada tahun pertama bulan hijriyah, namun baru dilaksanakan pada tahun kedua Hijriyah.
Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta-pora.
Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga merayakan hari raya dengan bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan.
’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno,’’ tulis Ensiklopedi Islam.
Setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha." (HR Daud dan Nasai)
Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi dan Rasul mengutip sebuah hadits dari Abdullah bin Amar:
"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
Jika merujuk pada hadis di atas, maka umat Nabi Nuh AS pun memiliki hari raya.
Sayangnya, kata Ibnu Katsir, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah itu sanadnya dhaif (lemah). Rasulullah Saw membenarkan bahwa setiap kaum memiliki hari raya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Abu Bakar pernah memarahi dua wanita Anshar memukul rebana sambil bernyanyi-nyanyi.
GridPop.ID (*)
Source | : | Tribun Pontianak,Bobo.ID |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar