GridPop.ID - Kemiskinan kadang membuat seseorang nekat melakukan sesuatu di luar nalar.
Seperti yang dilakukan seorang siswi ini yang relakan keperawanannya ke bapak-bapak tukang ojek demi mendapatkan barang idaman.
Begini kisahnya, dikutip dari Grid.ID.
Pembalut menjadi barang penting bagi setiap perempuan saat sedang menstruasi.
Bagi kita yang hidup di kota-kota besar, bukan hal yang sulit untuk menemukan pembalut.
Namun berbeda dengan negara di sebuah benua Afrika, Kenya.
Penelitian terbaru dari UNICEF menyebutkan bahwa 65% perempuan di perkampungan kumuh Kibera, Nairobi, rela menjajakan diri hanya untuk mendapatkan pembalut.
Bahkan, menurut badan kemanusiaan tersebut, 10% remaja putri mengaku melakukan seks transaksional.
Andrew Trevett, kepala Air, Sanitasi, dan Kebersihan UNICEF Kenya mengatakan bahwa tidak jarang anak-anak perempuan dilecehkan secara seksual sebagai ganti barang-barang saniter tersebut.
"Kami memiliki ojek sepeda motor yang disebut boda-boda. Gadis-gadis itu terlibat hubungan seks dengan pengemudinya sebagai ganti pembalut." kata Andrew.
Hal ini terjadi karena 2 alasan, yang pertama jelas karena kemiskinan dan yang kedua adalah masalah pasokan.
Karena kemiskinan, para perempuan disana sampai tidak mampu membeli produk saniter termasuk pembalut.
Selain kemiskinan, pasokan barang juga masih menjadi masalah.
Padahal seperti yang dikutip dari Kompas.com, untuk menjaga kebersihan organ intim saat menstruasi kita dianjurkan mengganti pembalut secara teratur.
Waktu terbaik dalam mengganti pembalut bukan saat selesai mandi saja, tapi minimal setiap empat jam sekali.
Barter seks dengan pembalut pun tidak terhindarkan karena barang-barang saniter tidak tersedia di desa-desa.
Di pedesaan, transportasi masih sulit dan kalau pun ada, para perempuan akan kesulitan membayar ongkosnya.
Sedangkan di beberapa desa yang lebih terpencil, tidak ada layanan transportasi umum karena jalan pun tak ada.
Pendidikan seks ternyata juga masih dianggap tabu di lingkungan masyarakat daerah tersebut.
Hal ini menyebabkan baik anak perempuan maupun laki-laki tak menerima informasi apapun mengenai menstruasi.
Ibunya bungkam, bahkan sekolah juga tidak mengedukasi sama sekali.
Judy, seorang siswi menengah di Kuria Barat mengalami trauma karena pengalamannya melakukan transaksi seks dengan pembalut.
Saat pertama kali mengalami menstruasi, Judy masih duduk di kelas 7.
Dia sedang mengikuti pelajaran olahraga di sekolah dan temannya melihat ada darah di pahanya.
Judy yang baru pertama kali melihatnya bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Kemudian temannya, Mary meminta izin ke guru olahraganya untuk membawa Judy pulang karena tak enak badan.
Ternyata Mary telah mengatur pertemuannya dengan 2 pengemudi boda-boda dan memintanya untuk membelikan pembalut serta celana baru.
Judy segera mengenakan pembalut tersebut dan membawa beberapa sisanya untuk digunakan di rumah.
Mary meminta Judy untuk tidak memberitahu hal ini kepada orangtuanya serta mengingatkan Judy untuk berterima kasih kepada pengemudi boda-boda tersebut.
Mary mendesak Judy untuk menerima niat baik pengemudi boda-boda yang bersedia menyediakan pembalut setiap bulan.
Bahkan pengemudi boda-boda itu juga membelikan Judy telepon supaya bisa segera memberitahu jika ada masalah.
Jatuh ke dalam perangkap pengemudi boda-boda untuk berhubungan seks, Judy akhirnya hamil pada 2016 dan melahirkan bayi laki-laki pada 2017 lalu.
Judy menyesal hanya karena pembalut, dia rela melakukan hubungan seks.
Namun kini Judy kembali ke bangku sekolah berkat bimbingan dan konseling dari seorang guru.
Kemiskinan adalah masalah yang tersebar luas di Kenya, UNICEF menemukan 7% perempuan dan anak perempuan yang mereka survei menggunakan kain lama, potongan selimut, bulu ayam, lumpur dan koran, 46% menggunakan pembalut sekali pakai dan 6% menggunakan pembalut yang dapat digunakan kembali.
Bahkan ada yang sampai menggali tanah dan duduk disana berhari-hari selama periode menstruasi.
Selain itu, 76% perempuan dan anak perempuan kesulitan mendapatkan fasilitas air dan sanitasi yang memadai untuk menstruasi.
Hanya 17,5% lembaga pendidikan memiliki air yang mengalir di dekat toilet serta fasilitas mencuci tangan dan sabun.
Kira-kira 30% dari sekolah sampel di Kenya menyediakan pembalut untuk siswa mereka tetapi dalam banyak kasus, pembalut hanya ditawarkan untuk keadaan darurat.
Seorang siswi lain bernama Agnes nasibnya lebih beruntung dari Judy.
Dia berhasil lari dari pengemudi boda-boda dan menolak berhubungan seks.
Sayangnya, teman-temannya kurang beruntung.
"Sebagian besar teman-teman saya menderita karena kurangnya pembalut," katanya.
"Artinya kebanyakan menyerah pada pengemudi boda-boda yang membuat mereka hamil. Ini mengarah pada kehamilan anak dan keluarga yang dipimpin oleh anak-anak."
Satu dari sepuluh anak perempuan di Afrika akan hilang dari sekolah selama masa menstruasi karena tidak memiliki akses ke produk sanitasi, atau tidak ada toilet yang aman di sekolah.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Grid.ID |
Penulis | : | Arif B |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar