GridPop.ID - Berikut penyebab remaja usia 16-17 tahun di Indonesia sudah melakukan hubungan intim untuk pertama kali.
Sebagaimana diketahui, BKKBN di Indonesia mengurai data remaja berhubungan intim pertama kali di usia 16-17 tahun (60 persen), 19-20 (20 persen) dan 14-15 (20 persen).
Melansir Bangkapos, Akademisi sekaligus Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung, Luna Febriani mengatakan data BKKBN ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola pada usia remaja berhubungan intim untuk pertama kali.
"Pada tahun-tahun sebelumnya didominasi pada kelompok usia 21 tahun.
Namun saat ini usia pertama remaja berhubungan intim didominasi pada usia yang jauh lebih muda yakni kelompok remaja 16-17 tahun," katanya.
Perubahan tingkat usia remaja dalam berhubungan intim, ujarnya tidak disebabkan oleh faktor tunggal melainkan banyak hal.
Faktor pertama yakni kemajuan teknologi, terlebih jika tidak dibarengi dengan kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam mengelola teknologi di kehidupannya.
"Karena kemajuan teknologi ini tidak saja dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan masyarakat, namun berkontribusi pula dalam melahirkan dampak negatif.
Dalam hal ini dampak negatif yang diberikan dapat berupa penyebarluasan maupun dalam mengakses konten tidak senonoh yang dimediasi melalui gawai dan jaringan internet," katanya.
Pasalnya penyebarluasan dan akses bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun juga.
"Hal ini akan mempermudah orang untuk mendapatkan akses konten-konten negatif," lanjutnya.
Baca Juga: Pantesan Tiap Hari Ngajak Hubungan Intim, Berikut 3 Urutan Zodiak dengan Dorongan Seks Paling Kuat
Faktor kedua yakni berkaitan dengan faktor globalisasi yang merupakan konsekuensi perkembangan teknologi.
Globalisasi atau proses terhubungnya masyarakat dunia dalam semua aspek kehidupan seperti budaya, sosial, ekonomi dll.
Dengan kata lain, globalisasi adalah proses memudarnya sekat-sekat dan batas antar negara.
Globalisasi bisa menjadi hal positif dan negatif.
Dengan memudarnya batas negara memberikan resiko terhadap memudarnya identitas dan kebudayaan masyarakat kita.
Identitas dan kebudayaan masyarakat ini dapat menjadi cermin dan pedoman masyarakat dalam berperilaku di kehidupan masyarakat.
"Nah, ketika hal ini pudar, maka pedoman dalam berperilaku dan berkehidupan pun otomatis akan ikutan hilang.
Tidak menutup kemungkinan, pedoman dalam berperilaku masyarakat sekarang bersifat homogen seiring terjadinya globalisasi, yang mana yang menjadi pedoman dalam berperilaku ini tergantung pada budaya mana yang memegang kekuatan besar dalam konteks global," katanya.
Faktor ketiga adalah pendidikan yang kurang memadai.
"Minimnya stok pengetahuan ini menyebabkan mereka tidak memiliki basis terkait resiko-resiko yang akan didapatkan jika mengakses maupun mengimplentasikan apa yang mereka dapatkan dari dunia digital.
Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan tidak adanya kontrol dalam diri remaja terkait apa yang akan mereka lakukan," katanya.
Faktor keempat adalah minimnya pendampingan dan kontrol sosial dari orang terdekat yakni keluarga.
"Seperti sebelumnya disampaikan, sekarang ini anak remaja dekat sekali dengan akses teknologi, mereka dapat mengakses konten-konten baik yang positif maupun negatif kapanpun dan dimanapun.
Maka hal ini harus dibarengi dengan kemampuan orang tua dalam memahami anak dan memahami perubahan yang terjadi," katanya.
"Mencegah anak melakukan hubungan intim di usia-usia remaja menjadi penting, karena ini juga memutus rantai-rantai masalah lainnya, seperti pernikahan dini, angka putus sekolah, kematian ibu dan anak, serta kekerasan-kekerasan dalam rumah tangga," katanya.
Bahaya Pernikahan Dini
Kesehatan dan reproduksi: Wanita yang menikah pada usia muda lebih mungkin menghadapi risiko kesehatan dan reproduksi yang tinggi. Mereka seringkali belum sepenuhnya matang fisik dan mental untuk menghadapi kehamilan dan melahirkan, yang dapat meningkatkan risiko komplikasi kesehatan dan kematian ibu dan bayi.
Pendidikan: Pernikahan dini dapat menghambat akses ke pendidikan formal bagi individu, terutama bagi wanita. Mereka mungkin dipaksa untuk keluar dari sekolah untuk mengurus rumah tangga, sehingga mengurangi peluang mereka untuk mencapai potensi penuh mereka.
Ekonomi: Pasangan yang menikah pada usia muda seringkali menghadapi masalah keuangan karena mereka belum siap secara finansial untuk mengelola kehidupan rumah tangga. Mereka mungkin belum memiliki keterampilan atau pendidikan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Tingkat perceraian yang tinggi: Pernikahan dini memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi dibandingkan pernikahan yang dilakukan di usia lebih matang. Hal ini karena pasangan muda seringkali belum memiliki kematangan dan pemahaman yang cukup tentang komitmen jangka panjang dalam pernikahan.
Siklus kemiskinan: Pernikahan dini dapat menjadi bagian dari siklus kemiskinan. Jika individu mengalami kesulitan ekonomi sejak usia dini, maka kemungkinan besar anak-anak mereka juga akan menghadapi tantangan serupa.
NB: Sebagian artikel ini dibuat menggunakan Chatgpt(AI)
GridPop.ID (*)
Source | : | Bangkapos.com,Chatgpt (AI) |
Penulis | : | Ekawati Tyas |
Editor | : | Ekawati Tyas |
Komentar