Saat Amangkurat II naik takhta, pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah Wanakerta yang kemudian disebut dengan Kartasura.
Pemindahan ini disebabkan oleh adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Pada 1743, peristiwa Geger Pecinan yang dipelopori oleh penduduk Tionghoa menghancurkan Keraton Kartasura.
Pakubuwono II yang menjadi sasaran pemberontak karena berpihak kepada Belanda pun terpaksa melarikan diri ke Ponorogo.
Sekembalinya ke Kartasura, Pakubuwono II memerintahkan pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala.
Desa Sala dipilih karena beberapa faktor, tetapi utamanya karena posisinya yang dekat dengan Sungai Bengawan Solo.
Sungai ini dapat berfungsi sebagai penghubung untuk memperlancar aktivitas ekonomi, sosial, dan politik kerajaan.
Pada 1746, Keraton Surakarta di Desa Sala mulai ditempati meskipun pembangunannya belum sepenuhnya selesai.
Pakubuwono II mendiami keraton sampai hari wafatnya, yaitu pada 1749.
Setelah itu, pembangunan Keraton Surakarta dilanjutkan oleh para penerusnya dan ditambahkan bangunan seperti Masjid Agung, Sitihinggil, dan Pintu Srimanganti.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono III, Mataram menghadapi perlawanan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
Pergolakan di kerajaan kemudian resmi diakhiri melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Veronica S |
Editor | : | Veronica S |
Komentar