Melihat ada orang datang di rumah ibunya, Sumairah yang tinggal 200 meter dari rumah ibunya, datang menghampiri setelah mendengar informasi dari tetangganya.
Ia tahu jika yang datang, membawa sedikit bantuan dan bercerita tentang nasib ibunya dan keluarganya.
Amur hidup tanpa mendapat perhatian dari pemerintah.
Sulihah berkata, hidupnya yang miskin, masih terbebani untuk merawat keluarganya sendiri dan ibunya.
Sedangkan Sumairah sendiri, sudah janda dan menganggur. Dirinya bekerja serabutan, menjadi kuli tani.
"Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya. Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun," terang Sumairah.
Untuk kebutuhan belanja sehari-hari, Sumairah mengaku kadang seminggu hanya punya uang Rp 5.000. Uang tersebut dibelanjakan untuk lauk ibunya.
Untuk dirinya, sudah tidak dipikirkan. Yang didahulukan adalah ibunya.
"Kalau saya bisa kuat menahan lapar. Ibu saya teriak-teriak kalau lapar," imbuh Sumairah.
Berteriak dan menangis saat sakit lambung Yang paling membingungkan, ketika Amur mengeluh sakit lambung.
Selain teriak-teriak, Amur juga sampai menangis karena menahan sakit.
Saat kondisi seperti itu, Sumairah harus pergi mencari utangan ke tetangganya untuk membeli obat pereda sakit lambung.
"Saya tidak tega kalau penyakit lambung ibu kambuh. Demamnya langsung naik. Meskipun utang, terpaksa saya jalani," ungkap Sulihah.
Suatu waktu, demam Amur tidak turun selama dua hari. Sumairah kebingungan. Ia mengubungi adiknya, Sulihah.
Keduanya memutuskan untuk mendatangkan seorang perawat di desanya.
Namun, segala biaya dan obat tidak ditarik biaya. Alasannya, perawat itu datang hanya sekedar membantu.
"Ada tetangga yang jadi perawat. Ia beberapa kali kami datangkan karena ibu sudah tidak bisa jalan. Alhamdulillah, perawat itu tidak pernah minta bayaran," ujar Sumairah.