Pada tahun-tahun pertama pernikahan, mereka hidup di Jerman karena ayahku bekerja di sana.
Aku lahir di Aachen, Jerman, begitu pula adikku: Thareq Kemal Habibie.
Sejak SD hingga aku meraih gelar Doktor - Ingenieur dengan predikat summa cum laude, (Juli 1994) aku tinggal di negeri itu.
Meski Ibu kerap berdialog dalam bahasa Indonesia, aku cenderung lebih menguasai bahasa Jerman dan Inggris.
Karena memang aku tidak pernah mengecap sekolah di Tanah Air.
Selama 31 tahun bermukim di sana dan di Amerika selama 2 tahun.
Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.
Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.
Hidup di perantauan - Eropa – menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.
Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja.
la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.
Entah apa jadinya bila aku tak memiliki ibu seperti dia.
Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.
Ibuku amat mandiri.
la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.
Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami.
Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya. (*)