GridPop.ID - Kepergian Bacharuddin Jusuf Habibie pada Rabu (11/9/2019) lalu membuka tabir keluarganya yang terbilang sunyi dari pemberitaan.
Tak seperti anak mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono apalagi anak Presiden Joko Widodo, dua putra almarhum BJ Habibie jarang diekspos media.
Putra sulung mendiang BJ Habibie dan Ainun, Ilham Akbar Habibie, selain tak fasih berbahasa Indonesia, ia juga sempat merasakan kasih sayang mendiang ibunya yang sangat luar biasa.
Diberitakan GridPop.ID sebelumnya, saat BJ Habibie menjabat sebagai orang nomor satu, Ilham Akbar Habibie sama sekali tidak mengetahui ayahnya menjadi Presiden.
Meski sudah dewasa, karena keterbatasan jarak membuat Ilham sedikit lambat mengetahui.
Ilham bercerita saat ayahnya diangkat jadi presiden, ia sedang berada di Berlin.
Sehingga ia tidak mengetahui kabar tersebut secara langsung, melainkan dari televisi.
"Kebetulan waktu kejadian 21 Mei itu saya tidak di Indonesia, saya lagi kerja di Air Show di Berlin, jadi malem-malem bapak saya telpon, gak saya angkat. Dikatakan tolong nyalain TV, saya baru sadar, wah ada sesuatu yang terjadi," kata Ilham, saat diwawancarai di acara Rosi, Kompas TV, beberapa lalu.
Setelah melihat peristiwa itu, Ilham memutuskan hari itu juga ia bertolak ke Indonesia.
Dalam pembicararaan tersebut terungkap tentang kemampuan bahasa Indonesia Ilham kala itu tidak mumpuni.
Dia mengatakan jika dirinya harus les bahasa Indonesia agar lancar berbahasa.
Mulanya, Rosi, sebagai pembawa acara mengatakan kehebatan Ilham yang bisa membaca di umur 4 tahun.
Namun, ketika pulang ke Indonesia dirinya harus les terlebih dahulu.
"Harus les bahasa Indonesia dahulu ketika pulang ke Indonesia, dan guru lesnya adalah bapak Yus Badudu?," tanya Rosi pada Ilham, dikutiop tribuntimur dari Wartakota
Anak Habibie itu menjawab jika gurunya adalah Hari Mukti Krida Laksana.
Setelah belajar les pada Hari Mukti, dia ngaku belum begitu lancar berbahasa Indonesia waktu itu.
"Waktu itu masih belum (pintar bahasa Indonesia), sekarang ada kemajuan," Jawab pria berkepala plontos ini.
Seakan mengetes, ketika ditanya beberapa bahasa yang tenar namun bukan bahasa baku, Ilham pun sedikit mengerti.
Ternyata, penyerapan beberapa bahasa 'gaul' itu justeru datang dari anaknya.
"Apa artinya baper?" tanya Rosi.
"Bawa perasaan, saya tahu dari anak saya," jawab Ilham sambil tertawa.
Namun ketika ditanya 'woles aja', Ilham tidak mengetahui maksud itu.
Sementara itu, Ilham Akbar Habibie juga pernah menceritakan sosok mendiang ibunya yang rela melepas karier demi buah hatinya.
Dikutip dari Tribun Timur, almarhumah Ainun Habibie semasa hidupnya dikenang sebagai sosok perempuan yang luar biasa.
Almarhumah membesarkan kedua putranya, Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie dengan penuh rasa kasih sayang.
Tulisan berikut ini diambil dari buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.
Inilah yang ditulis oleh Ilham Akbar Habibie dalam buku tersebut, mengenai ibunya, Hasri Ainun Habibie, yang ketika itu belum lama setelah kepergiannya menghadap kepada Yang Maha Pencipta, 22 Mei 2010.
Berikut petikannya:
Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.
Ibuku lahir di Semarang pada 11 Agustus 1937.
Ayahku, H. Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare 25 Juni 1936).
Pada tahun-tahun pertama pernikahan, mereka hidup di Jerman karena ayahku bekerja di sana.
Aku lahir di Aachen, Jerman, begitu pula adikku: Thareq Kemal Habibie.
Sejak SD hingga aku meraih gelar Doktor - Ingenieur dengan predikat summa cum laude, (Juli 1994) aku tinggal di negeri itu.
Meski Ibu kerap berdialog dalam bahasa Indonesia, aku cenderung lebih menguasai bahasa Jerman dan Inggris.
Karena memang aku tidak pernah mengecap sekolah di Tanah Air.
Selama 31 tahun bermukim di sana dan di Amerika selama 2 tahun.
Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.
Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.
Hidup di perantauan - Eropa – menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.
Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja.
la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.
Entah apa jadinya bila aku tak memiliki ibu seperti dia.
Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.
Ibuku amat mandiri.
la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.
Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami.
Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya. (*)