“Latu itu raja sama juga dengan marga Patty yang ada Maluku. Meski berbeda kampung, tapi semuanya itu keturunan raja, begitupun marga-marga yang diawali dengan kata Patty,” ujar Abidin yang juga merupakan akademisi IAIN Ambon.
Secara genologis, marga Latuconsina memiliki hubungan yang kuat dengan marga lainnya.
Sehingga wajar bila ada warga Maluku yang bukan marga Latuconsina merasa tersinggung ketika marga itu dilecehkan.
Abidin mengungkapkan, secara umum marga bagi orang Maluku bukan hanya sekedar simbol identitas dan kebanggaan, tetapi juga harga diri sebuah komunitas.
Sebab, marga di Maluku pada prinsipnya lahir dari sebuah gelar yang diberikan.
“Jadi marga ini merupakan identitas kultural orang Maluku, marga mencerminkan nilai kearifan orang Maluku. Jadi kalau satu marga disinggung, maka akan ada banyak marga yang ikut tersinggung karena memiliki keterkaitan,” paparnya.
Selain sebagai simbol identitas dan penghargaan, marga di Maluku diyakini sangatlah sakral karena menyangkut asal usul kekerabatan dan juga nasab manusia di Maluku.
“Marga itu mencerminkan nilai kearifan lokal yang sangat agung dan menjadi kekayaan Kebhinekaan kita, sehingga tidak elok jika marga dipermainkan,” katanya. (*)