GridPop.ID - Siapa yang tak suka dengan mie instan?
Dibalik pembuatannya yang praktis dan rasanya yang murah, mie instan juga miliki rasa yang lezat.
Ia bahkan menjadi menu favorit bagi semua kalangan dan umur.
Namun, bagi Bagi kalian yang menyukai mi instan ini Anda harus tetap waspada.
Sebab, ada banyak kasus yang mencuat di telinga kita terkait mi instan.
Misalnya kasus seorang mahasiswa berusia 18 tahun yang dilaporkan meninggal dunia karena menderita kanker perut setelah mengonsumsi mi instan setiap malam.
Kejadian ini terjadi pada Oktober 2018 silam di mana remaja tersebut makan mi instan tiap kali belajar pada saat tengah malam.
Lalu dia mulai menunjukkan gejala seperti perut kembung, mual, dan sakit perut.
Keluarganya pun menjadi khawatir karena kondisi kesehatannya semakin memburuk.
Pihak keluarga kemudian membawanya ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis.
Secara mengejutkan, ia didiagnosis menderita kanker lambung stadium akhir.
Hanya ada sedikit harapan baginya untuk bertahan hidup karena kanker telah menyebar ke organ-organ lain.
Setelah setahun berjuang melawan kanker, ia akhirnya meninggal dunia.
Segala kalangan suka mi instan
Praktis saat membuatnya menjadikan mi instan punya daya tarik sendiri.
Tak heran, segala kalangan menyukai mi instan. Tak hanya kaum-kaum menengah ke bawah saja.
Untuk bepergian, sepertinya orang Indonesia telah menempatkan makanan cepat saji ini jadi prioritas.
Bahkan di rumah pun banyak orang yang menyimpan stok bertumpuk di lemari dapur mereka.
Wajar, mi instan ini sering dijadikan pilihan untuk mengganjal perut lapar baik untuk sarapan, makan siang, makan malam, cemilan, teman nonton bola sampai teman ngeronda pun bisa.
Ditambah lagi, cara menikmatinya bisa sesuai selera.
Kurang dimanjakan apalagi kita dengan ini?
Orang Indonesia doyan mi instan
Indonesia merupakan konsumen tertinggi kedua di dunia Mengacu kepada laporan World Instant Noodles Asosiation (WINA).
Ternyata konsumsi mi instan di Indonesia pada tahun 2017 saja telah mencapai jumlah mengejutkan yakni 12,62 miliar.
Hal ini berhasil menempatkan Indonesia sebagai konsumen mi instan terbesar kedua di dunia yang melampaui Jepang 5,66 miliar porsi, India 5,42 miliar porsi dan Vietnam 2,06 miliar porsi.
Posisi teratas masih ditempati China dengan jumlah konsumsi sebanyak 38,970 miliar porsi.
Sisi gelap mi instan
Namun apa yang membuat mi instan begitu buruk?
Karena mi instan ini dibuat agar tahan lebih lama, tentu saja ada proses yang panjang.
Mi instan rendah kandungan nutrisi, tinggi lemak, kalori dan sodium dan dicampur dengan pewarna buatan, pengawet, zat aditif dan perasa.
"Dalam kebanyakan kasus monosodium glutamat (MSG) serta hidrokuinon tersier-butil (TBHQ), yaitu pengawet kimia yang berasal dari industri minyak bumi - mungkin ada dalam mi instan untuk meningkatkan rasa dan menjaga ketahanan."
"Meskipun asupan makanan dari unsur-unsur ini diperbolehkan dalam batas, asupan teratur dari mi instan dapat menyebabkan masalah kesehatan yang parah," kata Dr Sunil Sharma, dokter umum dan kepala darurat, Madan Mohan Malviya Hopsital, New Delhi.
Tahun lalu, The Washington Post telah melaporkan penelitian dari Korea Selatan yang dilakukan untuk menguji efek mi instan pada kesehatan manusia.
Menurut penelitian, "Meskipun mi instan adalah makanan yang nyaman dan lezat, mungkin ada peningkatan risiko untuk sindrom metabolik mengingat sodium tinggi, lemak jenuh yang tidak sehat dan beban glikemik," kata Hyun Shin, kandidat doktor di Harvard School of Public Health.
Pada tahun 2013, sekelompok dokter Amerika melakukan eksperimen untuk melihat bagaimana proses pencernaan kita berfungsi saat kita mengomsumsi mi instan.
Dengan bantuan kamera mikro, kamera seukuran pil, para dokter dapat melihat proses mi Instan yang dicerna di layar komputer mereka
Menariknya, terlihat bahwa lambung perlu mencerna beberapa jam untuk benar-benar menghancurkan jenis mi instan.
Para ahli menjelaskan bahwa sifat alami dari mi ini biasanya membuat mereka sulit dicerna.
Dan sebenarnya tidak hanya dalam kasus mi instan, tetapi untuk semua jenis makanan olahan juga beresiko.
(*)