Tiga bulan lalu, Kompas.com naik motor bersama Betuah (19) pada jalan berlubang dekat Desa Air Panas, di kaki Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, anak muda Rimba itu tiba-tiba berhenti, dan menatap serombongan Orang Rimba yang lewat.
Tampak ada tiga orang anak kecil dan dua orang dewasa. Tapi Betuah menatap semak dalam-dalam. Rupanya dalam semak itu ada Bepawal.
"Aku tidak melihat semak Bang. Jangan bilang aku gila. Aku melihat Bepawal. Orang Rimba remaja, harus bersembunyi kalau ketemu orang asing," kata Betuah kepada Kompas.com dengan tatapan kosong.
Sepanjang jalan menuju rumah H Jaelani atau Tumenggung Tarib di Desa Paku Aji, Betuah bercerita suka duka dalam menjalankan tradisi Bekintangon, di keluarga Bepawal (18) yang doyan tinggal di kebun sawit.
Tradisi Bekintangon adalah pengabdian dalam berpacaran. Betuah sudah dua tahun menjalani tradisi itu, yakni tinggal dan membantu calon mertua atau ayah perempuan yang dicintainya, dalam segala urusan pekerjaan tanpa pamrih.
Pekerjaan dimaksud di antaranya menyadap karet, berladang atau bermalom, mencari jernang, dan berburu.
"Saya membantu semua pekerjaan (ayah) perempuan yang disayang. Dan, tinggal bersama keluarganya selama dua tahun," kata Betuah dengan senyum simpul sembari menatap gemintang di langit, saat malam gelap mengepung pelataran kantor KKI Warsi, beberapa waktu lalu.
Betuah mengaku bahagia pernah hidup bersama keluarga Bepawal. Setelah berangkat kerja bersama ayah perempuan dan biasanya pulang larut malam, di rumah telah tersedia makanan dan kopi, buatan bidadari pujaan hati.