Sembari mengajar di SMP, Jakob mengikuti kursus B-1 Ilmu Sejarah.
Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga tahun 1961.
Setelah berhenti mengajar di SMP Van Lith, Jakob mendapatkan pekerjaan baru sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur.
Tugas hariannya di mingguan itu adalah sebagai pemimpin redaksi. Sebenarnya, setelah merampungkan kursus B-1 Ilmu Sejarah, Jakob sempat mendapatkan rekomendasi untuk memperoleh beasiswa di University of Columbia, Amerika Serikat oleh salah seorang guru sejarahnya yang juga seorang pastor, Van den Berg, SJ.
Namun, tawaran itu membuatnya bimbang.
Di sisi lain, Jakob juga mendapat tawaran untuk menjadi dosen di Universitas Parahyangan, Bandung.
Bahkan, Unpar juga telah menyiapkan rekomendasi agar Jakob dapat melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar PhD di Universitas Leuven, Belgia.
Di tengah kebimbangannya, Jakob bertemu dengan Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur.
Oudejans pun menasehatinya, "Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak." Pertemuannya dengan Petrus Kanisius Ojong ( PK Ojong) pada 1958 dalam sebuah kegiatan jurnalistik, mendoronya untuk mendirikan majalah Intisari.
Ojong sendiri sebelumnya juga sudah aktif di dunia jurnalistik, sebagai pimpinan harian Keng Po dan mingguan Star Weekly.
Namun, pada 1958, Keng Po diberangus pemerintah. Nasib yang sama dialami oleh Star Weekly pada 1961.
Keduanya tak disukai pemerintah karena sikap kritisnya.
Pada tahun 1963, majalah Intisari resmi berdiri dengan misi mendobrak kekangan politik isolasi yang dilakukan pemerintah.