Find Us On Social Media :

Sudah Musim Kemarau, Mengapa Hujan Masih Saja Turun Sepanjang Hari? Begini Penjelasan Ilmiah dari Lapan hingga BMKG

By Lina Sofia, Jumat, 25 Juni 2021 | 12:02 WIB

GridPop.ID - Pada bulan Juni sehurusnya Indonesia sudah memasuki musim kemarau

Namun hal tersebut tak terjadi pada beberapa hari terakhir ini.

Sejauh ini di sejumlah daerah, hujan dengan intensitas tinggi masih turun. 

Bahkan di sejumlah daerah terpantau mengalami banjir.

Dilansir dari Kompas.com daerah yang mengalami kebanjiran misalnya di pemukiman warga di kawasan Kebon Pala, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, banjir di Kecamatan Bojongsoang, Dayeuhkolot, dan Baleendah, Kabupaten Bandung, serta sejumlah wilayah lainnya.

Baca Juga: Bukan Hanya NTT, BMKG Beri Peringatan 7 Provinsi Ini untuk Waspada Badai Siklon Tropis Seroja, Mana Saja?

Penjelasan BMKG Dikutip dari Kompas.com 21 Juni 2021, Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari mengatakan, hujan turun di Pulau Jawa serta di banyak wilayah Indonesia barat maupun tengah.

Setidaknya terdapat 2 hal yang mendasari terjadinya hujan di Juni ini.

"Data aliran udara lembab menunjukkan bahwa sumber uap air yang menjadi sumber kejadian hujan ini dari Samudera Hindia, dan diduga terkait dengan gejala IOD negatif yang saat ini berkembang di Indian Ocean," kata Supari saat dihubungi Kompas.com, Senin (21/6/2021).

Selain itu, menurutnya terjadi karena adanya gangguan gelombang atmosfer yang terjadi bersamaan.

"Secara bersamaan, sedang terjadi gangguan gelombang atmosfer yaitu equatorial rossby wave yang juga berkontribusi meningkatkan potensi hujan di wilayah Indonesia," kata dia.

Dilansir dari GridStar.ID Peneliti Klimatologi dari PSTA Lapan Erma Yulihasti mengatakan, hujan yang masih sering terjadi di wilayah barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) sejak awal Juni, terjadi karena pengaruh dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia.

Baca Juga: Bibit Siklon Masih Terpantau di Lawut Sawu Selatan NTT, BMKG Peringatkan Hujan Petir Disertai Angin Kencang

Dia mengatakan, dinamika tersebut terlihat dari pembentukan pusat tekanan rendah, berupa pusaran angin (vorteks) di selatan ekuator, dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa.

Menurut Erma, pembentukan vorteks yang sangat intensif di Samudera Hindia sejak awal Juni, diprediksi akan bertahan sepanjang periode musim kemarau.

"Sehingga berpotensi menimbulkan anomali musim kemarau yang cenderung basah sepanjang bulan Juli-Oktober pada tahun ini," kata Erma dikutip dari unggahan akun Instagram Lapan, Selasa (22/06).

"Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia," kata Erma.

Penghangatan suhu permukaan laut sendiri adalah bagian dari feedback respons terhadap kondisi di Samudera Pasifik yang saat ini mengalami La Nina.

Baca Juga: Pantas Warga Geger, Ternyata Ini Asal Muasal Dentuman Keras di Langit Malang, BMKG Singgung Fenomena Alam yang Tak Biasa Ini

Adapun La Nina, menurutnya saat ini semakin melemah dan cenderung menuju netral.

Untuk Dipole Negatif diprediksi hanya akan berlangsung singkat sekitar Juli-Agustus, namun eksistensi vortex dan penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia diprediksi akan berlangsung hingga Oktober.

Dipole Mode negatif di Samudera Hindia

Erma mengatakan, potensi anomali musim kemarau basah itu juga diperkuat dengan prediksi pembentukan Dipole Mode negatif di Samudera Hindia.

Menurut Erma, fenomena tersebut berpotensi menimbulkan fase basah di barat Indonesia.

Dia menjelaskan, Dipole Mode itu ditandai dengan penghangatan suhu permukaan laut di Samudera Hindia dekat Sumatera.

Baca Juga: Akhirnya Terjawab Sudah, Masuk Musim Hujan kok Masih Terasa Gerah dan Panas? Ternyata Ini Penyebabnya hingga Penjelasan dari BMKG

"Sedangkan sebaliknya di wilayah dekat Afrika mengalami pendinginan suhu permukaan laut," ujar Erma.

Erma mengatakan, kondisi tersebut mengakibatkan pemusatan aktivitas awan dan hujan terjadi di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera.

"Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia," kata Erma.

"Sedangkan sebaliknya di wilayah dekat Afrika mengalami pendinginan suhu permukaan laut," ujar Erma.

Erma mengatakan, kondisi tersebut mengakibatkan pemusatan aktivitas awan dan hujan terjadi di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera.

"Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia," kata Erma.

Sisa-sisa La Nina

Erma mengatakan, penghangatan suhu permukaan laut di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera itu juga merupakan bagian dari feedback response terhadap kondisi di Samudera Pasifik yang saat ini mengalami La Nina.

Baca Juga: Awas! BMKG Keluarkan Peringatan Dini Cuaca di Kawasan Jabodetabek, Begini Penjelasannya

Namun, menurut dia, saat ini La Nina semakin melemah dan cenderung menuju kondisi netral. Erma menambahkan, Dipole Mode negatif ini diprediksi hanya berlangsung secara singkat, yaitu dua bulan, Juli-Agustus, sehingga belum memenuhi kriteria Dipole Mode yang secara ilmiah harus terjadi minimal tiga bulan berturut-turut.

Wilayah yang terdampak Kendati Dipole Mode negatif diprediksi hanya berlangsung singkat, namun eksistensi vorteks dan penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia diprediksi akan terus berlangsung hingga Oktober.

"Gabungan vorteks dan anomali suhu permukaan laut lokal ini merupakan faktor pembangkit yang menyebabkan anomali musim kemarau cenderung basah pada tahun ini," kata Erma.

Fenomena anomali musim kemarau basah itu akan terjadi, terutama di wilayah Indonesia bagian selatan, meliputi Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, dan timur laut yang meliputi wilayah Maluku, Sulawesi, dan Halmahera.GridPop.ID (*)