GridPop.ID - Warga kampung miliarder di Tuban, Jawa Timur tengah menjadi sorotan.
Dulu mendadak kaya, kini warga kampung miliarder di Tuban hidup susah usai tak punya lahan.
Bahkan ada yang terpaksa menjual sapi untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak punya pendapatan tetap.
Padahal, seperti yang diberitakan Kompas.com sebelumnya, Kepala Desa Sumurgeneng Gihanto sudah sempat merasa khawatir.
Gihanto menjelaskan, terdapat 840 kepala keluarga di desa tersebut. Sementara, warga yang menjual tanahnya sebanyak 225 orang.
PT Pertamina juga menghargai tanah warga lebih tinggi dari biasanya, sekitar Rp 600.000 sampai Rp 800.000 per meter.
Rata-rata, warga mendapat uang sebanyak Rp 8 miliar dari penjualan tanah itu.
Gihanto menjelaskan, warga yang memiliki empat hektare lahan mendapat uang sebesar Rp 26 miliar.
Ada juga warga yang mendapat Rp 28 miliar. Warga tersebut berasal dari Surabaya tetapi memiliki lahan di desa tersebut.
Menurut Gihanto, sebagian besar warga memakai uang tersebut untuk membeli mobil. Lalu, ada warga yang membeli tanah di daerah lain dan membangun rumah.
Sedangkan warga yang menggunakan uang itu sebagai modal usaha hanya beberapa orang.
"Yang dibuat untuk usaha sedikit, banyak yang digunakan untuk beli mobil, sudah ada 176 mobil baru yang dibeli secara bertahap, kemarin baru datang 17 mobil," jelasnya.
Hampir setahun berlalu, sebagian warga yang awalnya kaya mendadak ternyata kondisinya kini sudah tak seperti dulu lagi.
Jangankan untuk membeli kendaraan baru, untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian warga mengaku kesulitan.
Melansir dari Tribunnews.com, hal itu terungkat saat unjuk rasa warga enam desa di ring perusahaan patungan Pertamina dan Rosneft asal Rusia, Senin (24/1/2022).
Musanam, warga Desa Wadung mengaku menyesal telah menjual tanah dan rumahnya ke PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PT PRPP) setahun lalu.
Kini kakek yang berusia 60 tahun itu sudah tidak lagi memiliki penghasilan tetap, sebagaimana setiap masa panen.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, iapun terpaksa harus menjual sapi ternaknya.
"Sudah tak jual tiga ekor (sapi) untuk makan dan kini tersisa tiga," ujarnya di sela-sela aksi demo.
Hal lain juga disampaikan Mugi (60), warga kampung miliarder di Tuban lainnya.
Usai menjual tanah seluas 2,4 hektare ke perusahaan plat merah tersebut, kini ia kesulitan mendapatkan penghasilan setiap panen.
Jika biasanya bisa mendapat Rp 40 juta saat panen, sekarang sudah tak lagi mendapat hasil tersebut.
"Dulu lahan saya tanami jagung dan cabai, setiap kali panen bisa menghasilkan Rp 40 juta. Kini tak lagi memiliki penghasilan, setelah menjual lahan," ungkapnya.
Ia juga bercerita, lahan miliknya dijual sekitar Rp 2,5 miliar kemudian uangnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sisanya ia tabung.
Mugi mengingat, dulu sering didatangi pihak Pertamina saat berada di sawah agar mau menjual lahan.
Segala bujuk rayu pun ditawarkan, termasuk tawaran pekerjaan untuk anaknya.
Namun hingga kini, tawaran tersebut tak pernah terealisasi.
"Dulu saya didatangi pihak Pertamina agar mau jual lahan, janji diberi pekerjaan anak-anak saya tapi tidak ada sampai sekarang," terang Mugi.
Dijualnya lahan pertanian kepada Pertamina juga berdampak terhadap warga yang tidak memiliki lahan.
Satu di antaranya Warsono (44), Dusun Tadahan, Desa Wadung.
"Nganggur kini tidak punya lahan," katanya saat ditemui di lahan persawahan kosong, Selasa (25/1/2022).
Sebelum ada pembebasan lahan, ia bekerja sebagai buruh tani, ikut orang yang mempunyai lahan sawah.
Namun, pemilik lahan telah menjual tanahnya untuk Pertamina.
Sehingga lahan yang telah dijual tersebut tidak lagi diperbolehkan untuk digarap.
"Sudah tidak pernah bertani lagi, sekarang lahannya sudah tidak boleh digarap," ungkapnya.
Pria dua anak ini menerangkan, setelah pembebasan lahan, ia pernah bekerja untuk pembersihan lahan atau land clearing milik Pertamina Rosneft dengan sistem kontrak.
GridPop.ID (*)