GridPop.ID - Kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi belakangan sedang marak terjadi.
Seperti yang dialami oleh seorang mahasiswa asal Jepang ini yang mengaku dijadikan budak nafsu oleh dosennya sendiri.
Pria berusia 25 tahun ini terpaksa menuruti kemauan bejat sang dosen lantaran takut studinya akan dipersulit.
Parahnya lagi, ketika memberanikan diri lapor ke pihak univeritas, pria ini malah 'diabaikan'.
Diberitakan Sripoku.com dari eva.vn, mahasiswa yang namanya disembunyikan ini menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Politik Universitas Waseda, Jepang, pada tahun 2014.
Ia belajar di bawah bimbingan seorang dosen wanita yang bergelar associate professor di departemen itu.
Setelah mendapatkan gelar sarjana, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke taraf S2.
Selagi mengejar gelar 'master', pria ini dibimbing oleh dosen wanita yang sama.
Pada Februari 2017, dosen tersebut terang-terangan meminta pemuda tadi menjadi kekasihnya, padahal dosen ini sebenarnya sudah memiliki suami.
Ia bahkan diajak berlibur ke Taiwan pada bulan Maret 2017, di mana dirinya dipaksa berhubungan intim dengan sang dosen.
Tidak sampai situ saja, pria ini juga dipaksa mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti : memasak, menjemput anak, dan lain-lain.
Ia telah menjadi korban pelecehan seksual dan penyalahgunaan kekuasaan dari sosok yang memegang 'kekuasaan'.
Pemuda ini bahkan mengaku sempat kepikiran mengakhiri hidupnya sendiri saking depresinya.
Barulah pada tahun 2021, Ia memberanikan diri untuk melaporkan perilaku sang dosen ke Komite Anti-Pelecehan Universitas Waseda.
Namun, pihak universitas mengesampingkan komplain tersebut dengan dalih perbuatan sang dosen 'bukan merupakan tindakan ilegal layaknya pelecehan'.
Kehabisan pilihan, pemuda ini beralih ke pengadilan.
Ia menuntut sang dosen atas tindakan pelecehan seksual dan meminta uang kompensasi sebesar 7 juta Yen atau sekitar 817 juta Rupiah.
Universitas Waseda menyampaikan pernyataan resmi mengenai perkara ini pada 25 Maret 2022.
Menurut pernyataan tersebut, pihak universitas tidak akan mengizinkan tindakan pelecehan ataupun tindakan ilegal lain terjadi di dalam kampus.
Oleh karena itu, mereka janji akan melaksanakan investigasi yang menyeluruh.
Terakhir dikabarkan, pengadilan masih berproses dan belum ada keputusan yang pasti mengenai nasib kedua pihak yang bersangkutan.
Sebagai informasi dilansir dari Kompas.com, pandemi Covid-19 membuat pusat-pusat dukungan di Jepang dihubungi lebih dari 23.000 kali oleh para korban kekerasan seksual antara April dan September.
Jumlah tersebut naik 15,5 persen secara tahunan, seperti disampaikan media setempat, mengutip pernyataan seorang menteri di Kabinet Jepang pada Jumat (6/11/2020).
Dalam sebuah konferensi pers terkait hal itu, Seiko Hashimoto, menteri yang bertanggung jawab atas kesetaraan gender, mengatakan pusat-pusat dukungan didirikan di setiap 47 prefektur di Jepang.
Fasilitas tersebut berfungsi untuk membantu para korban kekerasan seksual yang melapor lewat telepon, surat elektronik (e-mail), atau datang langsung yang totalnya mencapai 23.050 kali, lapor Kyodo News.
"Lebih banyak orang perlu memahami berapa banyak wanita yang menjadi korban kekerasan seksual di tengah pandemi Covid-19, dan pemerintah harus memberi dukungan kepada mereka secara memadai," ujar sang menteri dalam konferensi pers tersebut.
Sebagian besar kontak yang dilakukan oleh para korban ke pusat dukungan itu pada Agustus tercatat 4.456 kasus, naik 895 dibandingkan bulan yang sama tahun lalu sebagaimana dilansir dari Xinhua.
GridPop.ID (*)