"Awalnya, Papa takut nonton, mereka akhirnya nonton dan dapat pandangan baru kalau ini itu bukan aib," cerita Yova.
"Ini enggak perlu ditutupin dan aku sudah hebat sudah bisa ngelewatin itu semua," tuturnya lebih lanjut.
Kini, keluarga menjadi support system Yova dalam proses penerimaan diri.
Pembicaraan dari hati ke hati sering Yova lakukan dengan sang ayah untuk mengetahui apa kebutuhannya sekarang demi menjaga kesehatan mental.
Selain keluarga, bagi Yova, diri sendiri adalah support system utama yang bisa membantunya dalam masa penerimaan diri ini.
Yova kini dinyatakan stabil oleh pihak Rumah Sakit Jiwa dan ia percaya bahwa memang tidak ada kata sembuh bagi gangguan mental.
"Gangguan mental bukan penyakit mental, gangguan mental enggak ada kata sembuh, adanya stabil, tapi memang ada fluktuasinya," cerita Yova.
Di tengah kondisi mentalnya yang ringkih dan masih fluktuatif, Yova secara disiplin mulai menata dirinya dan kehidupannya secara pribadi, terutama soal validasi emosi.
"Semua dari dalam diri sendiri, aku harus bisa belajar validasi emosi. Kalau seneng kita tahu seneng, kalau marah kita tahu cara luapinnya yang tepat," kata Yova.
"Kita tidak bisa menyalahkan emosi, harus diterima. Emosi tidak ada yang salah, memang emosi harus kita rasakan. Jangan sampai dipendam lagi, lanjutnya," imbuhnya.
Memiliki kontrol penuh akan dirinya, Yova membuat rumus tersendiri yang dapat membantunya untuk menerima diri dan menjaga kestabilan kesehatan mental.