Sebelum Indonesia merdeka, martabak masuk golongan makanan baru bagi masyarakat.
Pedagang martabak di Taman Sriwedari bersama pembantunya lalu mempromosikan dagangannya dengan istilah "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal".
Bermula dari ungkapan itu, istilah "halal behalal" menjadi populer di Kota Bengawan. Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini ketika pergi ke Taman Sriwedari atau silaturahmi ketika Lebaran.
Halalbihalal selanjutnya berkembang menjadi kegiatan silaturahmi saling bermaafan saat Idul Fitri tiba.
Digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah
Dalam versi lain, sejarah halalbihalal ini berawal dari gagasan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Chasbullah pada 1948.
Dilansir dari Kompas.id (17/4/2023), Indonesia pada masa itu disebut sedang mengalami perpecahan ketika para elitenya bertengkar dan tidak bisa akur.
Presiden Soekarno kemudian memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah pada pertengahan Ramadhan 1948 untuk meminta saran dalam mendinginkan suasana politik.
Pada saat itu, KH Abdul Wahab Chasbullah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Agung.
KH Abdul Wahab Chasbullah kemudian mengusulkan kegiatan silaturahmi ketika hari raya Idul Fitri.
Ia mengusulkan agar acara tersebut diberi nama "halabihalal" yang artinya saling memaafkan, menghalalkan satu sama lain.
Soekarno pun mengikuti saran KH Abdul Wahab Chasbullah dan memanggil para elite politik ke Istana Negara.
Mereka diajak bertemu dan duduk bersama dalam satu meja dengan suasana saling memaafkan.
Pertemuan tersebut menjadi ajang bagi pihak-pihak yang berseberangan untuk membangun dialog yang produktif secara lebih mudah dan bekerja sama dalam memajukan bangsa.
Halalbihalal kemudian populer dilakukan di lembaga pemerintahan, pesantren, dan masyarakat hingga menjadi tradisi khas lebaran sampai saat ini. GridPop.ID (*)