“Dibacok dua kali,” katanya dengan kepala tertunduk.
Dikutip dari kompas.com, Kapolres Sumedang AKBP Hartoyo mengatakan, pelaku mengaku membunuh korban karena dendam.
"Tidak ada motif lain, motifnya dendam pribadi. Jadi, jangan dikait-kaitkan dengan motif yang aneh-aneh ya. Ini murni dendam pribadi," ujar Hartoyo saat pengungkapan kasus di Mapolres Sumedang, Jumat (15/2/2019).
Dijelaskan polisi bahwa awalnya tersangka juga datang ke masjid hendak salat, namun korban yang juga datang malah memelototi pelaku.
Tak terima, pelaku pulang mengambil kapak kemudian kembali ke masjid dan membacok korban hingga tewas.
Hartoyo mengatakan, dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa Kurnavei pernah menderita gangguan jiwa.
Dokter yang pernah menangani Kurnaevi menyebut, pelaku kerap berhalusinasi.
Baca Juga : Aldama Putra Tewas dengan Sekujur Tubuh Penuh Luka Lembam Akibat Dianiaya Senior
Diduga, pengakuan pelaku yang merasa dipelototi korban hanya halusinasi.
Pasalnya dokter yang pernah menangani Kurnaevi menyebut bahwa pelaku kerap berhalusinasi.
"Kata dokter spesialis kejiwaan yang sempat menangani pelaku, dia kerap berhalusinasi. Saat kejadian, halusinasi itu yang muncul dan melatarbelakangi pelaku membunuh korban," ujarnya.
Polisi pun menghadirkan Edi, dokter spesialis kejiwaan yang merawat Kurnaevi.
Edi mengaku pernah merawat pelaku pada Juni 2018 lalu.
Baca Juga : Mengerikan Isi Surat Terakhir Putri Diana yang Ditulis Sebelum Tewas, Firasat Ajal Akan Menjemput?
Pelaku mengalami stres berat dan sering melamun, Edi pun menyarankan Kurnaevi untuk dirawat.
"Pelaku mengalami gangguan jiwa berat. Saat terakhir kali diperiksa, saya sudah menyarankan untuk dirawat," ujarnya.
Edi pun menduga pelaku melakukan pembunuhan karena halusinasinya kambuh setelah sekian lama tak berobat.
"Hal ini (pembunuhan) terjadi mungkin saja karena halusinasi pelaku ini kambuh lagi karena sudah lama tidak berobat lagi," katanya. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Jabar |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar