Jika sudah mati, bangkai tikus kemudian dibakar, digoreng, dikukus, direbus, atau dipanggang.
Tikus kukus dikatakan memiliki rasa yang lebih kuat.
Sementara tikus besar dianggap memberikan sensai makan yang lebih puas.
"Orang asing yang mencicipi daging tikus mengatakan bahwa rasanya seperti ayam. Namun, hewan ini memiliki daging gelap dengan rasa yang lebih tajam. Menurut saya, itu seperti rasa daging kelinci," ungkap Singleton.
Meskipun kebanyakan tikus liar di Vietnam sangat sehat dan rendah parasit, tapi ada beberapa risiko kesehatan yang bisa muncul setelah melakukan kontak dengannya sebelum dimasak.
Mamalia ini membawa lebih dari 60 penyakit yang bisa memengaruhi manusia.
Baca Juga : Gisel Sudah Move On, Gading Marten Kepergok Menangis Saat Nyanyikan Lagu 'Pergilah Kasih'
Selain itu, di tempat-tempat di mana tikus menjadi hama tanaman, khususnya sawah di Vietnam, petani biasanya akan memasang racun tikus.
Ketakutan akan racun tikus ini membuat warga Vietnam lebih senang membeli tikus hidup di pasar sehingga dapat menentukan sendiri hewan sehat mana yang akan mereka pilih untuk dimakan.
Yang terpenting, menurut Singleton, memasak daging tikus dengan benar adalah cara terbaik untuk menghindari infeksi penyakit yang ditularkan tikus.
Tak hanya di Vietnam saja, masyarakat Minahasa juga menjadikan tikus untuk santapan.
Melansir dari Kompas.com, orang Minahasa gemar menyantap beragam jenis daging hewan menegaskan bahwa manusia benar-benar berada di puncak rantai makanan.
Salah seorang warga bernama Cici (16) pun menyebut hewan yang pernah ia makan, mulai dari ikan, ayam, babi hutan, kelelawar, ular, anjing, kucing, hingga tikus hutan.
Lidah orang Minahasa memang akrab dengan hewan liar.
Survei Indiyah Wahyuni, dosen Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, tahun 2005 menemukan, daging hewan yang paling disukai orang Minahasa adalah tikus dan babi.
Daging ayam dan sapi ada di urutan paling belakang.
Di Kota Manado yang dihuni para pendatang, daging yang disukai berturut-turut adalah ayam, tikus, anjing, dan babi.
Nasrun Sandiah, dosen antropologi Universitas Sam Ratulangi, menjelaskan, kontrol terhadap makanan di Minahasa sangat longgar.
”Orang bisa makan hewan apa saja karena tidak ada larangan,” ujarnya.
Baca Juga : Berbanding Terbalik dengan Atalarik Syach, Pernikahan Attar Syach dengan Kakak Ipar Duta SO7 Begitu Harmonis
Tradisi itu makin kuat lantaran menyajikan dan menyantap daging hewan liar dianggap bergengsi.
”Semakin langka daging yang disajikan, semakin dianggap bergengsi,” katanya.
Alam masih menyediakan hewan liar meski tidak semelimpah dulu. Nasrun yakin tradisi bushmeat di Minahasa akan berakhir ketika hewan di hutan dan kebun Sulawesi habis disantap. (*)
Source | : | Kompas.com,national geographic |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar