GridPop.ID - Banyak orang menghabiskan waktunya dengan menetap di tengah kota.
Namun, rupanya ada pula orang yang lebih memilih untuk menjauh dari hiruk pikuk kota.
Seperti keluarga di Pekalongan ini yang merasa damai setelah puluhan tahun tinggal di tengah hutan pinus.
Melansir dari Kompas.com, satu keluarga Dakup di Pekalongan memutuskan menetap di tengah hutan sejak tahun 1966 untuk menjauhi kutukan yang diyakini oleh mereka.
Lokasi tempat tinggal keluarga tersebut terletak di tengah hutan pinus yang memiliki medan berat dan berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat Kecamatan Peninggaran.
Selain itu, masih banyak hewan liar di lingkungan tempat tinggal mereka seperti babi hutan dan kera.
Sebelumnya, keluarga itu tinggal di Dukuh Sigintung, Desa Tuwareh Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan.
Mereka memilih pindah karena merasa terkena kutukan setelah satu per satu anak dari keluarga tersebut meninggal dunia.
53 tahun kemudian tepatnya tahun 2019, anak keturunan keluarga Dakup tetap memilih tinggal di tengah hutan dan tak ingin pindah dari lokasi mereka tinggal.
Bahkan saat ini, ada 6 tempat tinggal sederhana yang telah dibangun di lokasi tersebut.
Untung (77) sang kepala keluarga, menjelaskan bahwa almarhum ayah mertuanya sengaja pindah ke tengah hutan karena anaknya meninggal satu per satu.
"Mertua saya pindah ke sini sekitar tahun 1966. Hingga kini saya bersama istri menetap karena lokasinya damai," tuturnya, Rabu (10/7/2019).
Baca Juga: Beredar Foto Hakim Mungil dan Imut hingga Bikin Netizen Gemas, Terungkap Siapa Sosok Dibaliknya!
Dia melanjutkan, ayah mertuanya meninggal pada 1980-an dikarenakan sakit yang tidak ia ketahui jenisnya.
"Ayah dan ibu mertua saya meninggal karena sakit tapi saya tidak tahu mereka sakit apa," paparnya.
Sang istri, Semi (75) menerangkan bahwa orangtuanya sengaja membawanya ke tengah hutan karena dihantui penyakit aneh setelah anaknya satu per satu meninggal.
Menurut Semi, orantuanya memiliki 10 anak dan ia memiliki 8 orang kakak yang setiap tahun meninggal satu per satu.
"Seperti terkena kutukan kata ayah saya karena kakak saya selalu meninggal. Kakak saya ada 8 dan setiap tahun meninggal satu per satu. Hanya tersisa dua, termasuk saya," jelasnya.
Semi mengatakan bahwa sang ayah memilih tinggal di tengah hutan untuk menghindari kutukan karena kejadian tersebut.
"Hingga ayah dan ibu saya meninggal, saya dan suami masih menetap. Kini kami punya dua anak serta tujuh cucu," ujar Semi.
Melansir dari Tribun Jateng, Jedot, salah satu warga sekitar yang pernah menjadi petugas Puskesmas Kecamatan Paninggaran dan bertugas dari tahun 1984 hingga 1987.
Ia mengaku sangat akrab dengan keluarga Semi.
"Sewaktu bertugas, dulu saya menemukan keluarga yang tinggal di tengah hutan. Hingga kini mereka masih bertahan," kata Jedot dikutip dari Tribun Jateng.
Menurutnya, ayah Semi bernama Dakup yang menderita kusta bahkan beberapa jarinya terputus karena penyakit itu.
"Waktu itu sekitar tahun 1984 saya datang ke rumah milih ayah Semi. Dia selalu mengeluh akan penyakitnya," cerita Jedot.
"Selain terkena kusta, ayah Semi juga menceritakan bahwa keluarganya terkena kutukan. Maka dari itu ia menetap di tengah hutan," tutur Jedot.
Setelah melakukan kunjungan pertama ke rumah keluarga Semi, Jedot rutin berkunjung karena prihatin melihat kondisi keluarga tersebut.
"Saya rutin berkunjung setelah melihat kondisi keluarga tersebut. Bahkan hingga Dakup meninggal saya masih berkunjung," kata Jedot.
"Kini kondisinya sudah lumayan baik karena air dan listrik sudah masuk walau lokasi tempat tinggalnya berada di tengah hutan. Kini ada delapan rumah ABG dibangun di sekitar rumah Semi," tambahnya. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Jateng |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar