Ibu empat orang asal Marang, Pangkep, Makassar tersebut pertama kali datang ke Matalaang pada tahun 2012 atas ajakan kakaknya Hj. Surianti, yang saat ini menjadi kepala Puskesmas Liukang Tangaya.
“Saya pikir Matalaang itu hanya satu dua jam perjalanan laut, tidak tahunya 13 jam lebih bahkan kalau ombak besar bisa sampai 24 jam baru sampai,” cerita tamatan sekolah bidan tersebut.
Semula suaminya yang bekerja sebagai operator alat berat agak keberatan dengan profesinya tersebut tetapi setelah diberi pengertian betapa pentingnya tenaga kesehatan di Matalaang suaminya tersebut merestui.
Sriani menceritakan kondisi Pulau Matalaang 7 tahun silam jauh terbelakang tidak seperti saat ini.
Kala itu tidak ada listrik juga komunikasi. Salah satu penerangan yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari adalah lampu petromak atau lampu minyak.
Ada satu pengalaman yang Sriani tak bakal lupakan. Suatu malam pada minggu pertama dia bertugas tiba-tiba ada seorang warga yang datang kerumahnya.
Warga tersebut meminta untuk membantu menangani persalinan keluarganya. Begitu dipanggil dia langsung bergegas datang ke rumah pasiennya.
Persoalannya, ketika dia masuk kamar si ibu, lampu penerangannya sangat minim dan tidak memadai untuk menangani persalinan.
Beruntung ketika berangkat dirinya membawa senter.
Sehingga ketika bayi sudah siap keluar tangannya sibuk menangani persalinan sambil mulutnya mengigit senter dan mengarahkan sinarnya ke arah jalan lahir. “Itu salah satu pengalaman unik yang pernah saya alami,” kata Sriani tentang bagaimana minimnya fasilitas umum saat itu.
Demikian pula waktu itu ketika ia ingin berkabar dengan keluarga yang ada di Pangkep, hanya bisa berkirim surat yang ia titipkan lewat para nelayan. “Alhamdulillah dua tahun belakangan ini sudah bisa berkomunikasi lewat telepon jadi lebih enak komunikasinya,” imbuhnya.
Saat ini karena jauhnya lokasi serta keadaan alam dia baru bisa bertemu anak dan suami tiga atau empat bulan sekali.
“Jadi sehari-hari kalau ingin melepas rindu hanya lewat komunikasi telepon saja,” imbuhnya.
Diantara keempat anaknya hanya yang terakhir yang diajak ke Matalaang, sedang tiga lainnya tinggal bersama suaminya di Pangkep.
“Bungsu saya ketika masih berumur tiga bulan sudah saya boyong kemari naik perahu di tengah ombak besar,” cerita Sriani yang menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
Saat inipun dia tak berani terlalu lama meninggalkan Matalaang. Ketika pulang ke Pangkep paling lama dua minggu dia harus segera kembali.
“Saya khawatir ada warga Matalaang sakit sementara saya tidak berada di tempat,” katanya.
Padahal pengorbanannya sebagai sorang bidan honorer yang begitu besar dengan penghasilan yang didapat setiap bulannya sangat tidak sebanding. Sebagai tenaga honorer mendapat gaji Rp 500 ribu per bulan. Gaji itupun terkadang baru diterima tiga atau empat bukan sekali.
Kendati antara pengorbanan dengan hasil yang didapat terlalu kecil tapi bagi Sriani tidak ada kata penyesalan. Justru disinilah letak hakikat pengabdian.
“Bahkan saya berharap, saya tidak dipindah ke daerah lain. Karena saya sangat mencintai profesi ini sekaligus saya mencintai masyarakat Matalaang. Bagi saya masyarakat Matalaang sudah menjadi bagian dari keluarga sendiri,” pungkasnya.
Gandhi Wasono
Penulis | : | |
Editor | : | Popi |
Komentar