GridPop.id - Pulau Matalaang Desa Sabalana samar-samar mulai terlihat.
Di sepanjang pantai berpasir putih di pulau yang masuk di wilayah Kabupaten Pangkep, Makassar berjejer perahu nelayan tradisional.
Namun kapal Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) yang baru saja menempuh perjalanan 20 jam perjalanan dari pelabuhan Labuan Bajo tempat bersandar sebelumnya tidak bisa merapat ke dermaga karena air laut terlalu dangkal dan berbatu karang.
“Kalau memaksakan bersandar kapal bisa kandas. Sekarang satu-satunya jalan kapal buang jangkar di tengah laut, untuk mengangkut pasien dan paramedis dari pulau ke kapal juga sebaliknya satu-satunya cara menggunakan sekoci,” kata Mudatsir, sang kapten RSTKA mengambil keputusan.
Sekoci pun tidak bisa merapat sampai dermaga, hanya bisa mengantar sampai batas terdekat selanjutnya penumpang turun dan berjalan telanjang kaki di air laut yang dangkal sampai ke tepi pantai.
Sementara siang itu di bibir dermaga masyarakat serta para pasien yang datang dari beberapa pulau sudah menyambut kedatangan tim RSTKA.
“Bagi kami kedatangan RSTKA dan tim dokter adalah berkah luar biasa. Kehadirannya sangat berarti bagi masyarakat yang rindu akan pelayanan kesehatan yang memadai,” kata Suriani (38) bidan honorer yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) pulau Matalaang Senin (21/10).
Selama ini lanjut Sriani, pasien termasuk ibu-ibu yang mengalami kesulitan kelahiran yang tidak mampu dia tangani satu-satunya cara harus dirujuk ke rumah sakit di Makassar atau Bima.
Padahal, untuk menuju kesana bukan pekerjaan mudah.
Selain membutuhkan waktu tempuh belasan jam dan biaya sangat tinggi faktor alam juga menjadi penentu bisa atau tidaknya perjalanan dilanjutkan.
TANGANI RATUSAN PASIEN
Selama dua hari puluhan tim medis dari RSTKA yang dipimpin direktur RSTKA dr. Agus Harianto, SpB, membawa puluhan relawan mulai dari dokter umum, dokter spesialis mata, anak, obgyn, bedah, anestesi, penyakit dalam, perawat, bidan, farmasi, serta relawan lainnya.
Para relawan tersebut datang dari berbagai lembaga serta daerah. Mulai Satuan Pemberantasan Buta Katarak dari Perhimpunan dokter mata Indonesia (Perdami) Cabang Sul-Sel, Fakultas kedokteran Universitas Andalas Padang, Univeritas Airlangga Surabaya, Universitas Brawijaya Malang juga HIPKABI Bandung.
Selama pelayanan ratusan pasien dari berbagai usia yang datang dari Desa Sabaru, Desa Balobaloang, Desa Sabalana, memenuhi Pustu sejak pagi hingga malam hari.
Ada sedikitnya 300 pasien lebih yang ditangani dan 18 diantaranya dilakukan tindakan operasi, mulai operasi mata, tumor serta operasi bedah lainnya.
Selama pelayanan di Matalaang hambatan yang terberat dialami oleh tim dokter yang melakukan operasi di dalam kapal. Selama dua hari gelombang yang ada di sekitar pulau agak besar.
Akibatnya goyangan kapal selama operasi membuat para dokter dan tim pendukung mengalami pusing dan mual.
Dokter Luthfi M. Prasetyo, dokter yang ikut terlibat dalam penanganan pasien di lambung kapal beberapa kali sempat mau muntah akibat goncangan kapal yang sangat kuat.
“Tapi alhamdulillah meski harus berpusing-pusing ria semua operasi berjalan lancar. Salah satu cara untuk menyiasati kami bergantian naik ke dek atas untuk melihat lautan lepas agar pusing mereda,” kata Luthfi yang mengaku sangat terkesan dengan misi kali ini.
Namun memasuki hari kedua goncangan kapal mereda sehingga operasi bisa berjalan lebih lancar.
Kapten Mudatsir mencari cara yakni menggeser posisi kapal untuk mencari titik tertentu dimana ombak tidak terlalu besar menghantam badan kapal.
RELA TINGGALKAN KELUARGA
Kondisi alam yang tidak menentu memang kerap terjadi. Dan itu salah satu menjadi halangan terberat bagi masyarakat kepulauan, salah satunya Matalaang ketika sakit dan perlu perawatan lanjutan.
“Orang meninggal di atas kapal pas menuju rumah sakit di Makassar sering terjadi. Jarak antara Matalaang ke Makassar yang membutuhkan waktu tempuh 14 jam perjalanan apalagi pas ombak besar menjadi persoalan utama,” kata Sriani yang berharap agar pemerintah menyediakan fasilitas serta dokter di kawasan kepulauan sehingga jika ada pasien yang memerlukan penananganan lanjutan bisa cepat diatasi.
Ibu empat orang asal Marang, Pangkep, Makassar tersebut pertama kali datang ke Matalaang pada tahun 2012 atas ajakan kakaknya Hj. Surianti, yang saat ini menjadi kepala Puskesmas Liukang Tangaya.
“Saya pikir Matalaang itu hanya satu dua jam perjalanan laut, tidak tahunya 13 jam lebih bahkan kalau ombak besar bisa sampai 24 jam baru sampai,” cerita tamatan sekolah bidan tersebut.
Semula suaminya yang bekerja sebagai operator alat berat agak keberatan dengan profesinya tersebut tetapi setelah diberi pengertian betapa pentingnya tenaga kesehatan di Matalaang suaminya tersebut merestui.
Sriani menceritakan kondisi Pulau Matalaang 7 tahun silam jauh terbelakang tidak seperti saat ini.
Kala itu tidak ada listrik juga komunikasi. Salah satu penerangan yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari adalah lampu petromak atau lampu minyak.
Ada satu pengalaman yang Sriani tak bakal lupakan. Suatu malam pada minggu pertama dia bertugas tiba-tiba ada seorang warga yang datang kerumahnya.
Warga tersebut meminta untuk membantu menangani persalinan keluarganya. Begitu dipanggil dia langsung bergegas datang ke rumah pasiennya.
Persoalannya, ketika dia masuk kamar si ibu, lampu penerangannya sangat minim dan tidak memadai untuk menangani persalinan.
Beruntung ketika berangkat dirinya membawa senter.
Sehingga ketika bayi sudah siap keluar tangannya sibuk menangani persalinan sambil mulutnya mengigit senter dan mengarahkan sinarnya ke arah jalan lahir. “Itu salah satu pengalaman unik yang pernah saya alami,” kata Sriani tentang bagaimana minimnya fasilitas umum saat itu.
Demikian pula waktu itu ketika ia ingin berkabar dengan keluarga yang ada di Pangkep, hanya bisa berkirim surat yang ia titipkan lewat para nelayan. “Alhamdulillah dua tahun belakangan ini sudah bisa berkomunikasi lewat telepon jadi lebih enak komunikasinya,” imbuhnya.
Saat ini karena jauhnya lokasi serta keadaan alam dia baru bisa bertemu anak dan suami tiga atau empat bulan sekali.
“Jadi sehari-hari kalau ingin melepas rindu hanya lewat komunikasi telepon saja,” imbuhnya.
Diantara keempat anaknya hanya yang terakhir yang diajak ke Matalaang, sedang tiga lainnya tinggal bersama suaminya di Pangkep.
“Bungsu saya ketika masih berumur tiga bulan sudah saya boyong kemari naik perahu di tengah ombak besar,” cerita Sriani yang menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
Saat inipun dia tak berani terlalu lama meninggalkan Matalaang. Ketika pulang ke Pangkep paling lama dua minggu dia harus segera kembali.
“Saya khawatir ada warga Matalaang sakit sementara saya tidak berada di tempat,” katanya.
Padahal pengorbanannya sebagai sorang bidan honorer yang begitu besar dengan penghasilan yang didapat setiap bulannya sangat tidak sebanding. Sebagai tenaga honorer mendapat gaji Rp 500 ribu per bulan. Gaji itupun terkadang baru diterima tiga atau empat bukan sekali.
Kendati antara pengorbanan dengan hasil yang didapat terlalu kecil tapi bagi Sriani tidak ada kata penyesalan. Justru disinilah letak hakikat pengabdian.
“Bahkan saya berharap, saya tidak dipindah ke daerah lain. Karena saya sangat mencintai profesi ini sekaligus saya mencintai masyarakat Matalaang. Bagi saya masyarakat Matalaang sudah menjadi bagian dari keluarga sendiri,” pungkasnya.
Gandhi Wasono
Penulis | : | |
Editor | : | Popi |
Komentar