Keduanya juga tidak memiliki empati atau kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tetapi seorang psikopat bahkan sama sekali tidak peduli pada orang lain dan menganggap orang lain sebagai obyek yang bisa dimanfaatkan.
Perbedaan lainnya adalah perilaku mereka dalam lingkungan sosial.
Seorang psikopat lebih sulit untuk dideteksi karena mereka bisa tampak pintar, berkarisma dan menirukan emosi.
Tompkins menyebut psikopat sebagai "aktor lihai yang misi utamanya adalah memanipulasi orang lain untuk keuntungan pribadi".
Sebaliknya, seorang sosiopat sering kali tidak mampu berpura-pura, dan sering menyalahkan orang lain atas perilaku mereka sendiri.
Perbedaan ini membuat beberapa pakar menganggap sosiopat sebagai orang yang berkepala panas, sementara psikopat sebagai orang yang berhati dingin.
Anggapan lainnya tentang psikopat dan sosiopat adalah bahwa sosiopati itu bisa dipelajari, sedangkan psikopati merupakan bawaan.
Akan tetapi, para pakar sepakat bahwa meskipun komponen genetik, seperti kurang berkembangnya bagian otak yang mengatur emosi dan impulsivitas, berperan dalam psikopati; ada faktor-faktor lain yang memengaruhi terbentukan gangguan kepribadian ini.
Sebuah artikel penelaahan yang dipublikasikan dalam International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology pada tahun 2000, misalnya, menemukan bahwa psikopat sering kali memiliki riwayat kehidupan keluarga atau lingkungan rumah tangga yang rentan kekerasan dan narkoba.
Meski demikian, penelitian juga menemukan bahwa bawaan mungkin lebih berperan dalam pembentukan seorang psikopat daripada sosiopat.
Pasalnya, hasil penelaahan yang dipublikasikan dalam The Canadian Journal of Psychiatry pada 2015 menemukan bahwa sepertiga dari orang-orang yang didiagnosis dengan sosiopati bisa menghentikan perilaku antisosialnya dan membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain.(*)
Source | : | Tribun Jatim |
Penulis | : | Sintia Nur Hanifah |
Editor | : | Popi |
Komentar