GridPop.ID - Kepergian Raden Ayu Siti Hartinah atau biasa disapa Ibu Tien Soeharto rupanya masih menyisakan misteri.
Terhitung sudah 24 tahun kepergian Tien Soeharto pada bulan April 2020 ini.
Sepeninggal Tien Soeharto, banyak beredar berita kurang menyenangkan terkait penyebab kematian dari istri mendiang Soeharto tersebut.
Seperti diketahui, Ibu Tien Soeharto meninggal dunia pada 28 April 1996.
Artinya, tepat 28 April 2020, sudah 24 tahun mantan Ibu Negara itu kembali ke Allah SWT.
Meski kepergian Ibu Tien sudah puluhap tahun, gosip atau cerita penyebab kematian Ibu Tien Soeharto masih sering muncul.
Gosip yang santer terdengar adalah meninggalnya IbuTien Soeharto berkaitan dengan keributan dua anak lelakinya, yaitu Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan Bambang Trihatmojo.
Bahkan ada yang menyebut, Ibu Tien Soeharto tertembak oleh Tommy Soeharto atau Bambang Soeharto.
Dan cerita seperti itu pun didengar oleh keluarga Cendana (keluarga Soeharto), khususnya para putra putri mereka.
Bahkan, Mbak Tutut Soeharto langsung menulis cerita tersebut di akun media sosial dan di website pribadinya untuk memberi penjelasan kepada publik penyebab kematian Ibu Tien Soeharto.
"Lalu saya mendengar berita tersebar, bahwa ibu wafat karena tertembak oleh adik-adik saya," ujar Mbak Tutut sebagaimana dalam tulisan yang dimuat di website khusus dan juga akun instagramnya.
Mbak Tutut pun kemudian 'membongkar' atau mengungkap cerita ayahandanya, Presiden Soeharto, terkait penyebab kematian Ibu Tien Soeharto.
Soeharto menceritakan kronologi kematian Ibu Tien Soeharto kepada Mbak Tutut karena saat itu putrinya sedang tidak berada di Indonesia.
Menurut Mbak Tutut, cerita kronologi kematian Ibu Tien Soeharto dia dapatkan langsung dalam perjalanan dari Ndalem Kalitan Solo (rumah Ibu Tien di Solo), sampai tempat pemakaman di Astana Giri Bangun Karanganyar, Jawa Tengah.
"Di dalam perjalanan menuju makam, dengan suara yang dalam, tiba-tiba bapak bercerita," ujar Mbak Tutut.
Menurut Mbak Tutut, Soeharto bercerita, “Ibumu pagi itu, mengeluh.”
“Bapak, aku kok susah nafas yo”
“Bapak tanya mana yang sakit bu”
Ibumu bilang “Ora ono sing loro (tidak ada yang sakit), mung susah nafas pak (hanya susah nafas pak).”
Ketika dipertegas oleh Mbak Tutut apa sakit yang dirasakan sang Ibu, Soeharto tegas menjawab, “Tidak, ibu hanya mengatakan susah nafas.”
Soeharto mengatakan, Ibu Tien mengeluh sesak napas sekitar pukul 03:00 dini hari.
"Berarti setelah bapak sholat tahajut," ujar Mbak Tutut menyimpulkan waktu saat ibunya merasakan sesak napas.
Setelah itu, Ibu Tien Soeharto dilarikan ke rumah sakit.
Tetapi, dalam perjalanan beliau sudah tidak sadar dan akhirnya setelah diberikan pertolongan, Allah berkehendak lain sehingga Ibu Tien meninggal dunia.
Karena itu, Mbak Tutut mengaku heran bahwa kemudian yang muncul cerita penyebab kematian Ibu Tien Soeharto justru terkena tembakan Tommy Soeharto atau Bambang Soeharto.
"Saya heran, siapa manusia yang tega menyebarkan berita keji tersebut. Demi Allah, apa yang bapak ceritakan, itu yang terjadi. Tadinya saya akan diamkan saja. Tapi rasanya berita itu semakin diulang-ulang ceritanya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab," ujar Mbak Tutut.
Tidak ada di Indonesia
Mbak Tutut pun bercerita bahwa saat ibunya meninggal, ia sedang tidak berada di Indonesia apalagi mendampingi sang Ibu.
Pada 28 April 1996, kata Mbak Tutut, dirinya sedang beradal di Eropa.
"Pada saat itu saya sedang bertugas memimpin sidang organisasi donor darah dunia (di Prancis dan Kemudian di London)," katanya.
Saat itu Mbak Tutut menjabat sebagai Presiden Donor Darah Dunia.
Betapa terkejut ketika dia mendengar berita ibu telah tiada.
Pada saat dirinya berangkat, Ibu Tien masih segar bugar.
Mendengar kabar lelayu (berita Ibu wafat), Mbak Tutut langsung kembali ke Jakarta.
"Itulah perjalanan paling lama yang saya rasakan selama saya bepergian," katanya.
Cerita Lengkap Penyebab Kematian Ibu Tien Soeharto
Mbak Tutut menulis lengkap serita penyebab Kematian Ibu Tien Soeharto yang dimuat di website tututsoeharto.id.
Tulisannya diberi judul 24 TAHUN YANG LALU (catatan Mbak Tutut) dan dimuat pada 29 April 2020.
Berikut dikutip dari Wartakotalive.com kutipkan untuk pembaca.
Dua puluh empat (24) tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 April 1996, Ibu kami tercinta telah dipanggil Allah SWT. Pada saat itu saya sedang bertugas memimpin sidang organisasi donor darah dunia (di Prancis dan Kemudian di London). Alhamdulillah, pada saat itu saya menjabat sebagai Presiden Donor Darah Dunia.
Ibu Tien tahun 1950an
Betapa terkejut ketika saya mendengar berita ibu telah tiada. Pada saat saya berangkat, ibu masih segar bugar. Mendengar kabar lelayu (berita Ibu wafat), saya langsung kembali ke Jakarta. Itulah perjalanan paling lama yang saya rasakan selama saya bepergian.
Penerbangan yang saya dapat waktu itu SQ, dan harus berhenti si Singapore. Untuk mempercepat waktu, suami saya menjemput saya di Singapore. Kami langsung menuju ke Solo. Jenazah ibu sudah ada disana.
Setelah bertemu ibu dan bapak, kami berangkat ke makam di Giribangun. Saya menemani bapak satu mobil. Di dalam perjalanan menuju makam, dengan suara yang dalam, tiba-tiba bapak bercerita.
“Ibumu pagi itu, mengeluh”
“Bapak, aku kok susah nafas yo”
“Bapak tanya mana yang sakit bu”
Ibumu bilang “Ora ono sing loro (tidak ada yang sakit), mung susah nafas pak (hanya susah nafas pak)”
Bapak bertanya lagi, “Dadanya sakit nggak bu”
Ibumu berbisik “ Ora ono (tidak ada)”
Bapak rebahkan ibu dengan bantal yang agak tinggi, karena ibumu susah nafasnya.
Bapak panggil ajudan untuk segera menyiapkan ambulans. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera.
Saya mencoba bertanya ke bapak “Jadi ibu tidak mengeluh sakit sedikitpun pak?”
Bapak menjawab dengan tegas, “Tidak, ibu hanya mengatakan susah nafas.”
“Jam berapa itu pak?” saya bertanya.
“Kurang lebih jam 3” kata bapak. Berarti setelah bapak sholat tahajut.
Kemudian bapak melanjutkan ceritanya, “Di dalam perjalanan, ibumu sudah tidak sadar. Sampai di rumah sakit, semua dokter sudah berusaha untuk membantu ibumu. Tapi, Allah berkehendak lain.”
Bapak terdiam tidak bicara lagi. Sepertinya, bapak ingin mengungkapkan perasaan hati yang kehilangan ibu dengan bercerita.
Tak dapat saya bendung air mata saya.
Bapak dan ibu tak pernah berjauhan. Beliau berdua saling mencinta, saling mendukung, dan saling membantu. Begitu yang satu tidak ada lagi di kehidupan, maka akan terasa, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Lalu saya mendengar berita tersebar, bahwa ibu wafat karena tertembak oleh adik-adik saya. Saya heran, siapa manusia yang tega menyebarkan berita keji tersebut. Demi Allah, apa yang bapak ceritakan, itu yang terjadi. Tadinya saya akan diamkan saja. Tapi rasanya berita itu semakin diulang-ulang ceritanya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Sebelum Allah memanggil saya, masyarakat harus tahu kebenarannya. Dan alhamdulillah sekarang ada medsos, yang alhamdulillah, sayapun ikut aktif di sana. Siapapun yang membuat cerita itu, dan siapapun yang ikut menyebarkan, kami serahkan pada Allah untuk menilainya. Karena kami meyakini, bahwa Allah adalah Hakim Yang Maha Adil.
Sahabat…, terima kasih yang tulus kami sampaikan, atas doa yang selalu dilantunkan untuk Ibu dan Bapak kami tercinta. Semoga Allah SWT, membalas dengan berlipat ganda… Aamiin.
Terima kasih kami haturkan ya Allah, telah memilihkan kami terlahir dari seorang ibu yang baik, bijaksana, hormat pada orang tua dan suami dan sesepuh, penuh kasih sayang, peduli pada yang berkekurangan, membantu yang membutuhkan, memberi pada yang tidak berkecukupan.
Ya Allah ampuni dosa ibuku…
Maafkan segala kesalahannya…
Terimalah semua amal ibadahnya…
Tempatkan ibuku di sorga-Mu yang terindah, bersama Bapak dan bersama orang-orang yang datang sebelum kami, yang beriman dan Engkau sayangi.
Ibu… tenanglah di atas sana…
Doa kami selalu menyertaimu…
We love you always ibu…
Jakarta 29 April 2020
Hj Siti Hardiyanti Rukmana
(*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul "Tutut Akhirnya Bongkar Penyebab Kematian Ibu Tien Soeharto, Klarifikasi Gosip Ditembak Tommy-Bambang"
Source | : | Warta Kota |
Penulis | : | None |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar