“Selesai menerima telepon itu, saya mendengar suara gemuruh dari arah puncak Merapi. Wah, meletus, pikir saya,” kata Panut di kediamannya di Kaliurang, Sabtu (21/11/2020).
“Saya langsung lari pontang-panting menuju Tlogo Nirmolo,” sambung petugas pengamat Merapi sejak 1975 ini.
“Belum ada motor waktu itu. Lari sekitar 1,5 kilometer dari rumah ini ke Tlogo Nirmolo. Saya bilang ke petugas penjaga loket, Merapi meletus, berjaga-jaga, dan jangan izinkan siapapun naik ke Plawangan,” ungkap Panut yang diangkat jadi PNS sejak 1981.
Tlogo Nirmolo waktu itu pusat rekreasi yang ramai dikunjungi pelancong.
Setelah itu, ia bersicepat naik ke Plawangan.
Berlari ia mendaki jalan setapak, tak menghiraukan keselamatan dirinya.
Di benaknya, ia hanya berpikir harus cepat sampai Pos Plawangan.
Suara gemuruh semakin keras terdengar.
Napas Panut tersengal-sengal saat pendakian kilat itu. Ketika meniti tanjakan di sisi timur Kali Boyong, Panut menoleh ke alur sungai.
“Gelombang awan panas sudah membanjiri sungai. Di sisi barat melambung menabrak bukit Turgo,” jelasnya.
Panut tak berhenti. Ia terus berlari menuju Pos Plawangan.
“Awan panas itu paling besar yang pernah saya lihat.
Bergulung-gulung dari lereng, menyusuri Kali Boyong.
Hari berikutnya saya baru tahu jarak luncurannya mencapai 6,5 kilometer,” ujar kakek 7 cucu ini.
Source | : | tribunews |
Penulis | : | None |
Editor | : | Septiana Hapsari |
Komentar