"Dia 2 bulan dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, suami saya alami patah tulang saraf bagian belakang. Tidak bisa disambung lagi. Kecuali mukjizat Tuhan baru bisa sembuh. Bayar pengobatan, ditanggung perusahaan dengan potongan asuransi," katanya.
Ia menceritakan, sejak keluar dari rumah sakit ia dan sang suami menempati rumah yang disiapkan perusahaan.
"2 tahun kami bertahan di Malaysia. Hidup di rumah perusahaan. 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit biaya hidup ditanggung perusahaan. Setelah itu, saya sendiri yang kerja cari uang untuk kebutuhan dan beli obat suami," katanya dengan penuh sedih.
Meski sedih dengan keadaan suaminya, Barbara tidak putus asa dan menjaga suaminya dengan tulus.
"Saya kerja untuk beli makan obat sang suami. Saya kerja mendata perolehan sawit 1 orang dan kelompok (checker). Sejak suami sakit, perusahaan memberi keringanan. Saya kerja bersih di sekitar kantor saja. Penghasilan saya waktu itu 1.000 ringgit per bulan. Kalau dirupiahkan bisa Rp 3 juta lebih," ujarnya.
Ia mengatakan, sebenarnya gaji yang ada tidak cukup tetapi dicukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan.
"Kadang kalau uang tidak cukup, saya tunggu makan dari teman kerja. Uang sendiri itu utamakan untuk beli obat sang suami," katanya.
Ia melanjutkan, kendala lain yang dialami saat berada di Malaysia adalah tidak ada keluarga untuk membantu sang suami apabila hendak berobat ke klinik.
"Kalau mau masuk ke klinik orang-orang yang bantu antar ke rumah sakit. Untung teman-teman bisa bantu kami," lanjutnya.