GridPop.ID - Soeharto dikenal sebagai salah satu pemimpin negara Indonesia yang paling bersejarah.
Setelah Soekarno, di tangan Soeharto, ia membangun negara Indonesia yang stabil dan mencapai kemajuan dalam bidang ekonomi dan infrastruktur.
Pada era yang dipimpin oleh Soeharto yang dikenal dengan era Orde Baru, masyarakat mendapati harga bahan pokok yang terjangkau.
Situasi kemanan dan ketertiban yang terjaga dengan baik kala itu.
Dalam sejarahnya, sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor jendral.
Setelah peristiwa G30S/PKI, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah Presiden Soekarno.
Salah satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September, dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang.
Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2 juta jiwa, namun jumlah ini patut dipertanyakan karena korban dari Gerakan 30 September juga banyak.
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968.
Ia menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968.
Sang Jendral kembali dipilih oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Dalam 32 tahun masa kepemimpinannya, Presiden Soeharto memiliki sebutan populer yakni "The Smiling General" ("Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan.
Namun, dengan berbagai kontroversi yang terjadi, ia sering juga disebut sebagai diktator bagi yang berseberangan dengannya.
Dengan segala kontroversi dan aura kepemimpinan Soeharto yang tegas, siapa sangka sosok yang memiliki kekuasaan begitu besar pernah mengalami trauma.
Mengutip dari Majalah Intisari edisi Februari 2008, mengungkapkan Pak Harto sapaan Presiden Soeharto memiliki sebuah trauma di masa kecilnya.
Ada beberapa pengalaman di masa kecil yang membuat Soeharto trauma.
Satu diantaranya, Soeharto kecil trauma dengan benda yang menjadi lambang partai yang menjadi lawan Soeharto saat dewasa.
Diceritakan, saat Soeharto kecil berumur 3 tahun, ia bermain-main dengar arit sepulang dari sawah. Arit iu terlepas dari tangkainya, sehingga mengenai kaki kanannya hingga terluka.
Pengalaman selanjtunya, saat usianya 5 tahun, ia tak sengaja menelan uang logam setengah sen yang diberikan ibunya.
Soeharto menangis lama sekali karena takut, ditambah lagi anak-anak lain mengganggunya dengan mengatakan uang itu tak akan pernah keluar lagi dari perutnya.
Pengalaman tidak menyenangkan lainnya yang dialami Soeharto kecil, adalah ketika ia bermain dengan saudaranya Darsono, di depan rumah kakek buyutnya, Notosudiro.
Diceritakan saaat itu kakek buyutnya sedang membuat baju, Soeharto kemudian dipanggil untuk mencoba baju tersebut.
Namun, baju itu ternyata bukan untuk sang Jendral, melainkan untuk Darsono.
Karena perlakuan kakek buyutnya ini, Soeharto kecil merasa sedih dan terhina.
"Saya merasa nista, hina. Saya nelangsa, sedih sekali. Wah, hidup ini kok begini," Soeharto melampiaskan kesedihannya. (Dwipayana, 1989, hal 10). (*)