Mahasiswi ini kini banjir apresiasi dan dukungan moral warganet karena berani bicara soal insiden yang menimpanya melalui media sosial.
Ia dianggap mampu menginspirasi para korban pelecehan seksual yang takut untuk vokal, selain menebar kesadaran bahwa ancaman pelecehan seksual bahkan dapat terjadi di kampus, ruang publik yang semestinya progresif.
Korban mengaku, ia ogah menjustifikasi pelecehan verbal dan fisik yang dialami dari gerombolan lelaki yang tak satu pun ia kenal.
Ia tahu betul bahwa tubuhnya bukan obyek belaka. Ia punya otoritas atas tubuhnya. Tak semestinya pundaknya dielus oleh laki-laki yang tak dikenal setelah mereka bercakap-cakap soal pakaian dalam perempuan.
"Karena sentuhan fisik tanpa melalui konsensus itu tindak pelecehan seksual. Kebetulan saya juga concern terhadap hal-hal soal pelecehan seksual. Tetapi, saya tidak menyangka bahwa itu akan saya alami juga," ujar korban.
"Mau dengan niatan bercanda pun, itu juga dia sadar untuk menyentuh saya dan saya tidak terima. Apalagi, sudah jelas niatannya menjadikan saya sebagai bahan bercandaan. Apalagi mereka orang asing," ia menambahkan.
Korban saat ini masih merasakan trauma atas insiden yang ia alami. Memang, traumanya kini tidak sehebat momen awal selepas pelecehan seksual itu.
"Setelah kejadian itu, saya ada janji dengan teman. Saya tidak berhenti memegang pundak saya berkali-kali karena saya takut," ungkap korban.