Jika dibagi per bulan, para pelaut itu hanya menerima sekitar Rp 11.000 won, atau Rp 135.350. Kapal itu disebut adalah kapal penangkap tuna.
Namun dalam beberapa kesempatan, disebutkan mereka bisa menangkap hiu, di mana hewan itu akan ditangkap menggunakan tongkat panjang.
Setelah itu, mereka akan memotongnya di mana sirip hiu dan bagian tubuh lainnya akan disimpan di dalam kapal secara terpisah.
Aktivis lingkungan Korea Selatan Lee Yong-ki mengatakan, kabarnya bisa lebih dari 20 ekor hiu yang ditangkap setiap hari.
Dia menuturkan ada kabar bahwa terdapat 16 kotak sirip hiu. Jika satu kotak beratnya 45 kilogram, maka ada sekitar 800 kilogram.
Dalam laporan itu, disebutkan kelompok pemerhati lingkungan hidup yakin, kapal tersebut khawatir jika aktivitas ilegal mereka ketahuan.
Oleh karena itu, jika terjadi kematian di antara ABK, mereka akan terus melanjutkan operasi tanpa harus bersandar di pelabuhan.
Menurut Lee, dia menduga karena terlalu banyak sirip hiu, maka kapal tersebut tidak bisa berlama-lama berada di suatu tempat.
Sebab, jika sampai diperiksa oleh biro pelabuhan atau bea cukai, mereka akan mendapat sanksi berat karena kegiatan mereka.
Pada pekerja yang merasa tidak puas dilaporkan pindah ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, namun harus menunggu selama 10 hari.