GridPop.Id - Baru-baru ini, sosok Bossman Mardigu ramai diperbincangkan.
Hal ini dikarenakan perbincangannya terkait virus corona di konten youtube milik Deddy Corbuzier yang berjudul "Corona Jelas Konspirasi!! Saya Jelaskan - Bossman Mardigu Sontoloyo WP".
Pria yang akrab disapa Bossman Sontoloyo itu mengemukakan pendapatnya terkait virus corona.
Kepada Deddy Corbuzier, Mardigu percaya bahwa virus corona yang telah menginfeksi lebih dari 5 juta orang di dunia adalah buatan manusia.
"Berdasarkan data dari sahabat saya yang ada di Cambridge University, saya confirm bahwa ini (virus corona) adalah dibuat," ungkapnya.
Dalam konten tersebut, Mardigu mengatakan, ada pihak-pihak yang diuntungkan dari pandemi ini.
"Kita percaya bahwa dunia farmasi itu darling-nya adalah Obama, karena Obama memiliki Obama Care selama delapan tahun. Dunia farmasi dulu tajir melintir. Setelah (Donald) Trump menjadi Presiden (AS), dia tebas Obama Care, yang darling-nya Trump adalah industrial militer ya," kata Mardigu.
Menurut dia, industri farmasi AS yang "ditebas" Donald Trump sakit hati dan kemudian merencanakan aksi balas dendam, yakni membuat wabah virus corona.
"Jadi dari tiga virus yang ada ya, A, B, C, (jenis virus) A ini akarnya memang Amerika. Tapi, ini bukan (dari) Trump," ungkap dia.
Berkaitan dengan konten tersebut, Kompas.com menghubungi pakar biologi molekuler Indonesia, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, untuk meminta komentarnya terkait video obrolan Deddy Corbuzier dengan Bossman Sontoloyo yang hingga kini ditonton lebih dari 3,4 juta kali.
Menurut Ahmad, orang-orang yang mengatakan bahwa virus corona merupakan buatan China atau buatan AS seharusnya dapat membuktikan ucapannya.
"Prinsipnya kalau kita sebagai ilmuwan, justru beban pembuktiannya ada pada yang menuduh. kata Ahmad kepada Kompas.com, Rabu (20/5/2020).
Dia menyampaikan, apa yang disampaikan Mardigu di YouTube tersebut hanyalah spekulasi. Salah satunya terkait perlawanan di bidang farmasi AS.
Ahmad yang juga pernah tinggal di AS selama 17 tahun melihat bahwa secara umum memang masyarakat AS terbelah, dibagi menjadi beberapa kelompok. Ada masyarakat yang sangat kaya, ada juga kelompok masyarakat dengan perekonomian biasa saja.
"Kenapa Obama Care sempat diperjuangkan, karena 30 juta warga Amerika itu enggak punya asuransi. Cuma masalahnya, asuransi yang model Obama Care itu mahal banget. Sehingga, Partai Republik yang intinya enggak mau dipajakin lebih mahal lagi, mereka menolak," kata Ahmad.
"Jadi ini intinya masalah klasik di bidang kesehatan (AS) dan enggak ada hubungannya sama virus. Itu jauh banget," imbuhnya.
Selain itu, Ahmad juga mengatakan tidak ada hubungannya dunia farmasi dengan virus, seperti yang disampaikan Mardigu.
"Di satu sisi farmasi memang besar, banyak profitnya, terlepas dari Covid-19 ya. Tapi, itu juga karena masalah sistem kapitalisme yang memungkinkan itu," katanya.
"Berbicara tentang virus corona ada banyak versi, tetapi saya lebih senang pakai data science aja. Jadi Cambridge University mengadakan research yang cukup panjang, kebetulan salah satu Profesor di sana, doktor ya, itu adalah sahabat saya orang Malaysia. Jadi sejak Februari, dia sering WA-an (WhatsApp-an), dia bilang waktu bulan Februari kok behavior-nya ini (virus) kayak AIDS ya dan itu ngambil imunitas," kata Mardigu.
Ahmad mengingatkan, peneliti pun dapat salah.
Pada akhir Januari 2020, China merilis sekuens genom lengkap dari SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Namun, saat itu mekanisme penularan awal virus corona masih belum jelas.
Sekuens genom SARS-CoV-2 ini pun dapat dilihat oleh semua orang dan para peneliti di seluruh dunia dapat melakukan penelitian lebih lanjut dari data tersebut.
"Kemudian di awal Februari, itu ada paper dari India. Jadi mereka menganalisa sekuens lengkap itu dan menemukan ada inversi (susunan) sekitar empat atau lima asam amino yang seperti inversi di virus HIV. Artikelnya ini baru preprint belum yang peer-review," kata Ahmad.
Sebelumnya perlu diketahui, preprint merupakan pengarsipan artikel (self archiving) secara online yang dipersiapkan untuk publikasi formal. Para peneliti menggunakan preprint server sebagai media untuk diskusi dan open peer-review.
Sementara makalah peer-review adalah hasil penelitian yang sudah melalui proses penelaah sejawat.
Penelitian itu dilakukan oleh Indian Institute of Technology (IIT), salah satu badan penelitian well respected atau sangat dihormati.
Dalam laporan tersebut, IIT memberi judul yang sangat profokatif, yakni "Uncanny similarity of unique inserts in the 2019-nCoV spike protein to HIV-1 gp120 and Gag".
Penggunaan kata "uncanny" atau luar biasa dalam judul dan kata "tidak mungkin kebetulan" dalam abstrak, membuat beberapa peneliti lain berpikir bahwa para penulis berpendapat virus corona baru entah bagaimana merupakan rekayasa manusia.
Makalah tersebut didiskusikan banyak ilmuwan dari seluruh dunia. Dalam waktu kurang dari 24 jam, para ilmuwan mengkritik makalah tersebut.
"Karena begini, sekuens yang mereka klaim ada di HIV, kalau mereka (ilmuwan India) mau mengerjakan pekerjaan rumahnya, (sekuens yang dimaksud) ini sebenarnya juga banyak ditemukan di virus-virus lain. Bahkan (sekuens yang sama) di virus influenza ditemukan sekitar tahun 50-an," kata Ahmad.
"Kalau ini buatan manusia kan enggak mungkin, karena revolusi biologi molukelar baru tahun 70-an dibuat. Jadi enggak masuk akal, orangnya belum bisa melakukan itu kok sudah ada (virus Influenzanya) di tahun 50-an," imbuhnya.
Dari kasus tersebut, Ahmad ingin menunjukkan bahwa peneliti yang dipercaya sekali pun dapat salah. "Scientist yang well respected (seperti IIT) juga bisa salah," ujarnya.
Banyak ahli diseluruh dunia telah membuktikan dan menegaskan bahwa virus corona SARS-CoV-2 secara alami berasal dari alam. Bukan buatan laboratorium atau buatan manusia.
"Kalau kita sudah tetapkan ini bukan buatan manusia, berarti kan (perdebatan) Amerika atau China hilang. Karena Amerika atau China sama-sama manusia kan," jelas Ahmad.