GridPop.ID - Kasus virus corona di Indonesia bukan hanya diangkat media dalam negeri namun juga menarik perhatian media asing.
Berbeda dengan media tanah air yang fokus terhadap penanganan dan perkembangan covid-19, media asing malah menyoroti kisah penggali makam di Jakrta.
Hal ini dikarenakan beban kerjanya yang berat dengan risiko tinggi.
Ada dua media asing ternama yang mengangkat kisah penggali makam di Jakarta, yakni AFP (Perancis) dan South China Morning Post (China).
AFP memulai pemberitaannya dengan kesaksian dari penggali makam bernama Junaidi Hakim.
Saat jurnalis AFP memantau di lokasi pemakaman Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Junaidi sedang menyerukan rekan-rekannya agar kerja lebih cepat.
Ia mengungkapkan, mereka harus menyelesaikan satu makam kurang dari 10 menit, untuk menekan risiko tertular Covid-19.
"Begitu ambulans datang, kami keluarkan jenazahnya, kami bawa ke lubang lahad, langsung turun, kemudian langsung ditutup."
"(Harus selesai) 10 menit," ungkap Junaidi (42).
Junaidi menambahkan, kekhawatiran lebih besar adalah ketika menurunkan peti dari ambulans. Sebab, peti harus dipegang dan mau tidak mau ada kontak antara peti dengan anggota tubuh.
"Setelah diturunkan, kekhawatiran itu sudah tidak ada," lanjut ayah empat anak tersebut.
AFP memberitakan ada sekitar 50 penggali makam di pemakaman Pondok Ranggon, salah satu dari dua pemakaman khusus untuk korban meninggal Covid-19 di Jakarta.
Di sana, para penggali makam bekerja 15 jam per hari selama 7 hari per minggu, dengan gaji bulanan Rp 4,2 juta.
"Mereka setidaknya menggali 20 makam baru per hari, ditandai dengan papan kayu warna putih yang bertuliskan nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat," tulis AFP.
Junaidi melanjutkan, pekerjaannya terus berlangsung tanpa henti karena "ambulans tidak pernah berhenti datang membawa jenazah."
Sangat lelah
Sementara itu South China Morning Post (SCMP) yang pemberitaannya menyadur dari AFP, juga mengangkat sudut pandang yang sama.
Dikisahkan para penggali makam harus bekerja di bawah teriknya sinar matahari, dikelilingi keluarga korban yang tidak bisa berlama-lama menghadiri pemakaman.
"Sudah puluhan tahun (bekerja), dan saya merasa lelah kerja, baru tahun ini, kali ini, pas pandemi ini," terang Minar (54).
"Apakah ujian dari Tuhan buat saya, saya enggak tahu," imbuhnya. SCMP lalu menambahkan, tantangan lain bagi penggali makam adalah puasa Ramadhan, yang mewajibkan pemeluk agama Islam tidak makan dan minum selama matahari terbit.
Seorang penggali kubur lainnya bernama Naman Suherman mengatakan, ia mampu mengatasi haus dan lapar karena yakin yang dilakukannya adalah tugas "mulia".
Pria 55 tahun itu mengungkapkan, pekerjaannya memperkuat imannya karena membantu mengantar almarhum ke tempat peristirahatan terakhir mereka.
Kemudian penggali makam lainnya menuturkan, ia tak pernah berhenti menggali kuburan sejak pandemi ini dimulai di Indonesia.
Sebelum ada wabah virus corona, ia menceritakan hanya menggali makam seminggu dalam sebulan.
Selain mengangkat kisah penggali kubur, AFP dan SCMP juga memberitakan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sebenarnya belum jelas.
Jumlah 1.191 korban meninggal pada Senin (18/5/2020) se-Indonesia diyakini lebih sedikit dari angka sebenarnya, karena jumlah tes virus corona yang rendah.
"Pemerintah mengakui data tidak lengkap." "Setidaknya 2.107 orang telah dimakamkan di bawah protokol keamanan Covid-19 di Jakarta saja, hampir dua kali lipat dari jumlah korban nasional yang dilaporkan."
"Kota-kota lain juga telah memperlihatkan angka pemakaman yang luar biasa tinggi dalam beberapa bulan terakhir, menunjukkan lebih banyak korban," tulis pemberitaan SCMP.
Tidak tahu apa-apa
Menutup pemberitaan, AFP dan SCMP membeberkan kisah para penggali kubur di Pondok Ranggon yang awalnya tidak tahu apa-apa soal Covid-19.
Akibatnya, pemakaman korban Covid-19 awalnya tidak dilengkapi dengan alat perlindungan.
"Awalnya tidak ada yang tahu soal virus corona," ucap Minar.
"Kita tidak tahu penyakit ini seperti apa, sampai kita tahu dari berita di tv kalau penyakit ini menular."
"Besoknya saya langsung beli masker. Beberapa hari kemudian saya mulai dapat alat pelindung diri."
Beda halnya dengan Junaidi, ia menceritakan pengalamannya dijauhi tetangga sejak kasus pertama muncul pada Maret.
"Meski mereka tidak mengatakannya langsung, tapi saya bisa merasakan mereka menjaga jarak."
"Seakan-akan mereka takut sama saya."
(*)