Permasalahan cuti yang tertera pada Pasal 79 ayat 2 poin b juga dianggap bermasalah.
Sebab tertulis, waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu dalam ayat 5, RUU juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun.
Cuti panjang akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 42 dalam RUU ini juga dianggap bermasalah.
Ini karena melalui pasal tersebut, dianggap akan memudahkan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk direkrut.
Pasal tersebut mengamandemenkan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Ini berbeda jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018 di mana TKA harus mengantongi beberapa perizinan, seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Dengan demikian, saat UU Cipta Kerja disahkan, perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya membutuhkan RPTKA.
Plus
Sementara itu, ada sejumlah poin plus, menurut pemerintah, yang didapatkan dengan disahkannya UU Cipta Kerja.
Dilansir Kompas.com, Senin (5/10/2020), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menilai UU Cipta Kerja dapat mendorong debirokratisasi sehingga pelayanan pemerintah akan lebih efisien, mudah dan pasti karena ada penerapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria), serta penggunaan sistem elektronik.