Nah, saat jelang letusan 2010, Suratno dimasukkan ke tim 7, yang mendaki ke puncak seminggu sebelum erupsi. Ia turut merasakan pengalaman istimewa bersama petugas Merapi lainnya.
“Hawa di puncak jauh lebih panas dibanding biasanya. Begitu sampai, hawa panas itu terasa. Di beberapa retakan dinding kawah, saya lihat gas panas yang keluar warnanya biru,” kata Suratno.
Ia termasuk orang yang tiba pertama di puncak Merapi, tepatnya di kawah mati bersama Sapari, petugas BPPTK Yogyakarta yang menangani teknis instrumentasi.
“Saat melintasi Kawah Mati, guguran kubah lava 2006 berwarna hitam sudah tampak,” katanya. Surat lalu mendapat tugas memeriksa alat tiltmeter di dinding kawah Woro.
Lokasinya sangat berbahaya karena berada di tebing curam. Setelah itu ia membantu petugas lain saat mengambil sampel gas di rekahan-rekahan dinding puncak.
“Saat pengukuran suhu, saya lihat tongkat pengukur titanium sesudah ditusukkan ke lapisan permukaan kawah, keliatan bengkok seperti hampir leleh. Alat pengukur suhu menunjukkan angka 850 derajat Celcius, lalu error,” imbuhnya.
Besi itu ditusukkan sedalam kira-kira 50 sentimeter. Di kedalaman itu di bawah permukaan kawah Woro dan Gendol, suhu sudah lebih dari 800 derajat Celcius.
Perkiraan lain karena alat error, mestinya sudah di atas angka 1.000 derajat Celcius.
Takutkah? “Tentu saja takut. Manusiawi, karena siapa orang yang mau membahayakan dirinya di tempat seperti itu,” akunya.
“Tapi bagi saya karena itu diminta membantu tugas, yang dikerjakan sebaik-baiknya, secepat-cepatnya,” lanjut Surat yang pernah jadi anggota relawan Bara Meru dan SAR Boyolali ini
GridPop.ID (*)
Artikel ini telah tayang di Tribun Jogja dengan judul, Sisi Lain Pengamat Gunung Merapi, Jawara Kebut Gunung, Naik Turun Ditempuh 1 Jam 22 Menit