GridPop.ID - Beberapa waktu lalu sempat diinfokan bahwa vaksin Covid-19 buatan Sinovac sebayak 1,2 juta dosis telah mendarat di Indonesia pad Minggu, 6 Desember 2020.
Hal ini tentunya kabar baik dan juga menjadi sedikit nafas lega di tengah peliknya kasus pandemi Covid-19 di Indonesia.
Namun, muncul kontroversi terkait mekanisme dan kebijakan vaksinasiyang diterapkan pemerintah.
Melansir dari Kompas.com, Juru Bicara Vaksin Covid-19 dr Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, ada dua skema yang berkaitan dengan vaksin subsidi dengan vaksin berbayar.
Ia menjelaskan, program pertama yakni pemerintah akan menyuntikkan vaksin kepada masyarakat Indonesia secara gratis (subsidi).
"Skema pemerintah itu memfokuskan pada tenaga kesehatan garda terdepan, pemberi layanan publik, dan kelompok masyarakat rentan lainnya," ujar Nadia.
Sementara, untuk program kedua, nantinya masyarakat kategori mampu akan dikenai biaya jika ingin disuntik vaksin Covid-19.
"Kalau skema mandiri tentunya difokuskan pada masyarakat dan pelaku ekonomi, jadi sebenarnya itu kita mengharapkan partisipasi, misalnya perusahaan untuk melakukan vaksinasi untuk seluruh pegawainya," lanjut dia.
Berdasarkan paparan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, garda terdepan seperti petugas medis, paramedis contact tracing, TNI/Polri, dan aparat hukum sebanyak 3.497.737 orang.
Melansir dari Kompas.com, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia menargetkan vaksinasi untuk Covid-19 akan dilakukan pada 107 juta orang dengan rentang usia 18-59 tahun.
Dari jumlah target penerima vaksinasi itu, hanya 30 persen di antaranya yang akan mendapatkan vaksin melalui program pemerintah, alias gratis.
Sisanya, sebanyak 70 persen, diproyeksikan dapat melakukan vaksinasi secara mandiri atau berbayar.
Beberapa rumah sakit swasta, seperti RSU Bunda Jakarta dan RS Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, diketahui sudah membuka pre-order untuk mendapatkan vaksin Covid-19 secara mandiri.
Direktur RS UII Yogyakarta, Widodo mengatakan, untuk harga vaksin berkisar antara Rp 450.000 sampai Rp 500.000 per dosis suntikan.
Melansir dari Kompa.com, Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, dan epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, berpendapat, seharusnya tak ada komersialisasi vaksin Covid-19 di balik penetapan skema 70 persen vaksinasi berbayar.
Pandu mengatakan, selain penawaran pre-order vaksin yang dilakukan melalui media sosial, ada juga penawaran untuk mendapatkan vaksin Covid-19 yang sudah beredar secara bawah tangan alias sembunyi-sembunyi.
"Melalui WA (WhatsApp), ke kantor-kantor, terus karyawannya. Pokoknya sudah benar-benar bisnisnya itu udah kelihatan," kata Pandu.
Menurut Pandu, cara ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar menargetkan vaksin untuk menangani pandemi Covid-19, tetapi sekaligus memulihkan ekonomi nasional melalui program vaksinasi.
"Memulihkan ekonomi. Jadi ekonomi ini kan akan bergulir kalau sebagian masyarakat spend money untuk beli vaksin. Kelihatannya arahnya ke sana," kata Pandu.
Sementara itu, Dicky mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung dan sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, seharusnya tak ada dasar bagi pemerintah untuk mengkomersilkan vaksin maupun terapi lainnya.
"Lha kita mau mengendalikan wabah, tapi kok malah jualan. Itu secara etika rasanya tidak pantas sama sekali," kata Dicky.
Dari sisi regulasi, menurut dia, vaksin Covid-19 akan masuk kategori imunisasi program khusus, yang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, ditanggung atau diselenggarakan oleh pemerintah.
"Kalau mau (komersil) cabut dulu status pandeminya, atau cabut dulu status bencana nasionalnya," ujar Dicky.
GridPop.ID (*)