Sebagai pihak yang mengajukan ekshumasi, Kamruddin menuturkan bahwa ia seharusnya menerima hasil otopsi itu terlebih dahulu sebelum dirilis ke media.
"Jadi kalau dia dokter independen, karena saya yang mengajukan ekshumasi tentu saya harus diberi dulu hasil kerja mereka, baru mereka rilis ke berita," jelas dia.
Tak hanya itu, Kamaruddin juga menyoroti tidak adanya konferensi pers resmi terkait rilis hasil otopsi Brigadir J kedua.
Sebab, apabila hanya dilakukan secara doorstop (menghadang narasumber secara langsung), maka wartawan tidak leluasa untuk mengajukan pertanyaan terkait hasil otopsi tersebut.
"Dia harus undang wartawan jelaskan satu per satu, sehingga wartawan bisa menanyakan secara detail, karena ini kan perintah konstitusi, perintah undang-undang, sama perintah Presiden," ujarnya.
"Harus transparan, tapi kalau dia bikin doorstop tentu wartawan tidak siap dengan pertanyaannya," lanjutnya.
Sementara itu, Kamaruddin juga mengaku dirinya belum sepenuhnya menerima hasil dari autopsi ulang yang dilakukan oleh PDFI.
Dilansir Tribunnews.com, Kamaruddin menyangkal pernyataan yang telah dilayangkan tim forensik, sebab menurutnya ada beda keterangan yang ia terima soal penganiayaan.
"Berarti dokternya ini belum profesional kita harus sekolahkan lagi ini ke luar negeri."
"Karena saksi saja atau tersangka mengakui kepalanya (Brigadir J) dijambak dulu sebelum ditembak."
"Dijambak itu kan penganiayaan, kalau tersangka mengakui penganiayaan sementara dokter forensik mengatakan tidak ada berarti ada perbedaan. Apakah ini yang benar tersangka atau pelaku atau dokternya," kata Kamaruddin, Senin (22/8/2022) dalam program Sapa Indonesia Malam, KompasTv.