Tak hanya itu, LPSK juga tidak mendapatkan gambaran umum atau yang lazim dari Putri Candrawathi saat rekonstruksi jika memang sebagai korban pelecehan seksual.
Baik untuk reka adegan di Magelang, rumah di Jalan Saguling, hingga rumah dinas di Duren Tiga yang menjadi tempat kejadian peristiwa terbunuhnya Brigadir J.
“Itu kan kami mengikuti, kami melakukan pendampingan, kami ikuti tahap per tahap, dan keterangan itu kami pahami,” kata Rully.
“Dalam penanganan LSPK itu, korban kekerasan seksual setidaknya itu ada gambaran yang umum atau lazim pada umumnya terjadi, sementara kami belum melihat itu (dialami oleh Putri Candrawathi -red).”
Pertama dari relasi kuasa, Rully menuturkan lazimnya pelecehan seksual dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa, sementara dalam kasus ini korban pembunuhan justru disebut sebagai terduga pelaku.
“Ini terbalik, meskipun di beberapa kasus tidak perlu ada relasi kuasa untuk kekerasan seksual,” ujarnya.
Kedua, rumah yang disebut sebagai tempat kekerasan seksual terjadi bukanlah rumah kosong.
“Ini rumah yang ada orangnya, ada saksi di dalamnya, kalau pun seorang pelaku mau melakukan kekerasan seksual, biasanya pelaku itu biasa memastikan tidak ada seseorang pun yang bisa menjadi saksi perbuatannya,” kata Rully.
“Sementara dari rekonstruksi dan keterangan yang LPSK terima dan rekan-rekan media terima setidaknya ada dua orang di situ.”
Rully menambahkan, yang patut juga menjadi pertanyaan, bagaimana Putri Candrawathi yang mengaku menerima kekerasan seksual masih memanggil terduga pelaku ke kamarnya.
Bahkan tak hanya itu, kata dia, Putri Candrawathi juga masih satu rombongan untuk kembali dari Jakarta ke Magelang.
“Kembali ke rumah, masih di rumah itu selama dua hari, y aitu perlu kita analisis bersama,” ucap Rully.
GridPop.ID (*)