GridPop.ID - Belum surut kehebohan atas munculnya Keraton Agung Sejagat, kini publik kembali dikejutkan dengan hadirnya kerajaan yang mengatasnamakan dirinya Sunda Empire.
Tak kalah mencengangkan, Sunda Empire juga membuat beragam klaim dan pengakuan terkait sejarah bangsa.
Salah satunya adalah pengakuan petinggi Sunda Empire, Raden Rangga Sasana yang menyebut bahwa beberapa organisasi internasional seperti PBB dan NATO itu lahir di kota Bandung.
Sunda Empire rupanya bukan tanpa alasan memilih Bandung sebagai pusat lokasi kerajaan atau kekaisaran mereka.
Alasan pemilihan Bandung disampaikan oleh petinggi Sunda Empire, Raden Rangga Sasana, saat diwawancarai INews TV, pada Senin (20/1/2020).
Rangga Sasana menyebut bahwa Bandung merupakan wilayah dari Atlantik.
"Bandung itu adalah titik nol, itu wilayah Atlantik," kata Raden Rangga Sasana dikutip dari YouTube INews TV, pada Selasa (21/1/2020).
Lebih lanjut, ia menjelaskan asal-usul terbentuknya bumi yang menurutnya tercipta dari percikan matahari yang pada akhirnya membeku.
Lanjutnya, Bandung merupakan daerah yang paling tinggi dibanding wilayah lain di dunia ini.
"Perlu dipahami bangsa Indonesia semuanya yang belum tahu, ini ya asal-usul bumi, adalah percikan matahari, yang pada kala itu akhirnya membeku, dan yang paling tinggi adalah Bandung," jelasnya.
"Maka Bandung berada dalam posisi paling tinggi di antara daerah-daerah lain di dunia," ucap Raden Rangga Sasana.
"Itulah kenapa disepakati oleh leluhur kita,"
"Makanya apabila sesuatu tidak datang dari Bandung tidak dilantik,"
Dengan alasan itu, Rangga Sasana mengklaim berbagai lembaga dunia yang lahir di Bandung.
"Makanya PBB lahirnya di Bandung, SLW di Bandung, NATO di Bandung, Pentagon di bandung, Bank Dunia pun di Bandung dengan modal dari bumi Nusantara," tegasnya.
Menanggapi penjelasan petinggi Sunda Empire ini, Dedi Mulyadi hanya tersenyum dan setengah tertawa.
Ia membebaskan Rangga Sasana untuk berpendapat.
Meski demikian, apa yang disampaikan olehnya masih bisa dicek kebenarannya.
"Iya yang pertama disilahkan aja, orang-orang boleh berpendapat apapun," ucapnya sambil terkekeh.
"Tetapi dari aspek rasio, sejarah, kan kita bisa memahami dunia di mana pusatnya, dimana dataran yang paling tinggi,"
"Di mana lahirnya PBB, di mana lahirnya NATO,"
"Kan semuanya sudah tercatat dengan baik dalam sejarah," imbuhnya.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi juga sudah memberikan komentar tentang kelompok ini.
Dikutip dari Kompas.com Dedi Mulyadi menilai, munculnya orang-orang yang mengaku punya kerajaan dan bangga dengan seragam ala militer merupakan penyakit sosial yang sudah lama terjadi di Indonesia.
Dedi menyebut, fenomena itu merupakan problem sosial yang sudah akut dan berlangsung sejak lama.
Hal itu disampaikan Dedi ketika diminta komentar terkait Sunda Empire yang saat ini heboh di masyarakat, terutama di Jawa Barat.
Menurut Dedi, ada problem sosial yang berlangsung cukup lama, yaitu masyarakat indonesia terbiasa masuk ke wilayah berpikir yang tidak realisitis atau terlalu obsesif.
"Ada obsesi mendapat pangkat tanpa proses kepangkatan atau instan. Ada obsesi ingin cepat kaya," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Sabtu (17/1/2020).
Dedi mengatakan, di Indonesia itu dalam kehidupan sosial, banyak kelompok masyarakat yang setiap hari mencari harta karun, emas batangan, uang Brazil dan sejenisnya.
Perilaku itu berlangsung lama dan tak pernah berhenti sampai saat ini.
"Banyak orang yang kaya raya jatuh miskin karena obsesi itu. Sampai miskin pun masih berharap obsesi itu tercapai," kata wakil ketua Komisi IV DPR RI ini.
Namun, kata Dedi, di sisi lain, kelompok adat yang memiliki sistematika cara berpikir realistis dan berbasis aspek alam mengalami peminggiran, baik dalam stasus sosial di masyarakat, maupun dalam status lingkungan.
"Misalnya areal adat komunitas adat kian sempit, tak dapat pengakuan. Kemudian membuat stigma bahwa mereka (kaum adat) adalah kelompok-kelompok yang dianggap bertentangan dengan asas kepatutan pranata sosial kemapanan hari ini," katanya.
Untuk mengantisipasi kelompok-kelompok obsesif itu, Dedi mengatakan negara harus memberikan penguatan terhadap kaum adat yang memiliki historis yang jelas dan jauh lebih realitis.
"Mereka ada yang petani, nelayan, penjaga hutan dan laut. Mereka lebih mapan dan tak pernah ada unsur penipuan. Negara harus melakukan tindakan agar kasus itu tidak berefek negatif terhadap kaum adat," tandasnya.
(*)
Source | : | Tribun Jatim |
Penulis | : | Sintia Nur Hanifah |
Editor | : | Popi |
Komentar