Setelah serangkaian protes yang menewaskan sedikitnya lima siswa, pembahasan RUU ini dihentikan, tetapi sekarang telah menjadi salah satu tagihan prioritas pemerintah.
RUU lain yang ditentang oleh siswa tahun lalu adalah revisi UU Batubara dan Mineral (RUU Minerba) 2009.
Aktivis mengklaim revisi tersebut akan melindungi koruptor, mengkriminalkan masyarakat dan membahayakan orang dan lingkungan.
Pada 12 Mei, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui revisi kontroversial ini.
Langkah-langkah untuk mengesahkan undang-undang ini telah dibuat di tengah larangan pertemuan sosial, termasuk demonstrasi.
Sederhananya, upaya yang dilakukan oleh parlemen (yang didominasi oleh partai-partai yang berkuasa) untuk mempercepat berlakunya RUU ini selama pandemi adalah sarana untuk mengesampingkan perhatian publik.
Jokowi dan pendukung politik dan bisnisnya tidak menganggap serius krisis
Sejauh ini, banyak pengamat menghubungkan kegagalan Indonesia dalam menangani wabah Covid-19 karena ketidakmampuan Jokowi dan kurangnya pemikiran strategis.
Banyak pejabat pemerintah yang menyangkal virus ini dan belum memberikan tanggapan efektif terhadap wabah tersebut.
Tapi ini bukan hanya kasus ketidakmampuan.
Berfokus pada ketidakmampuan pemerintah mengaburkan sifat tidak liberal Indonesia.
Kita perlu melihat masalah di luar gaya kepemimpinan pemerintah saat ini.
Tata pemerintahan yang buruk dan kelemahan institusional telah lama bercokol di Indonesia, dan kekacauan dalam menangani wabah ini lebih baik dilihat sebagai konsekuensi dari sistem politik dan ekonomi Indonesia yang tidak liberal.
Dalam konteks ini, banyak elit politik-bisnis cenderung memandang kekacauan sebagai peluang untuk memajukan kepentingan mereka dan meningkatkan kekuatan dan sumber daya materi mereka.
Mereka telah mengeksploitasi krisis untuk tujuan yang tidak liberal dan mengabaikan yang paling rentan.
(*)
Source | : | Warta Kota |
Penulis | : | Septiana Risti Hapsari |
Editor | : | Maria Andriana Oky |
Komentar