GridPop.ID - Belakangan ini kasus korupsi bansos yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara tengah disorot tajam.
Dilansir dari Tribunnews, Juliari Batubara dinyatakan terbukti menerima Rp 32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bansos COVID-19.
Atas tindakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dengan hukuman hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp14,59 miliar.
Putusan itu tentu saja menuai pro dan kontra di masyarakat. Tak sedikit yang kecewa dengan putusan tersebut.
Apalagi jika melihat banyaknya masyarakat yang harus menderita dan berjuang di tengah pandemi covid-19 seperti saat ini.
Salah satunya seperti kisah pilu dari seorang nenek bernama Sumirah (89), warga Kelurahan Simomulyo Baru, Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya.
Wanita paruh baya yang hidup sebatang kara di rumah indekosnya itu disebut-sebut tak mendapat jatah bantuan sosial sama sekali.
Dilansir dari Kompas.com, pada 2006 silam, suami Sumirah yang bernama Subaru meninggal dunia.
Pasangan tersebut tidak memiliki keturunan sehingga Sumirah kini hidup seorang diri dan hanya ditemani dua ekor kucing.
Ketika jurnalis Kompas mendatangi rumahnya, Selasa (24/8/2021), Sumirah mengaku menggantungkan hidup dari hasil berjualan keripik dan jajanan anak-anak sejak suaminya meninggal dunia.
Sumirah mengaku, ia sudah menjadi warga Kota Surabaya sejak tahun 1959.
Kala itu, dirinya masih berusia 14 tahun dan sudah menikah dengan almarhum suaminya, Subari.
Semasa hidup, ia melakukan beragam pekerjaan, mulai dari menjadi perawat anak-anak, menjadi tukang pijat, hingga berdagang.
"Sebelumnya saya merawat anak-anak kecil, sekarang sudah tidak kuat, sudah tua. Sama pijat juga kalau ada orang memanggil," kata Sumirah ditemui di rumahnya, Selasa (24/8/2021).
Sumirah menyampaikan, ia bertahan hidup dengan belas kasihan dari para tetangga.
Terlebih lagi, ia mengaku tak pernah mendapat uluran bantuan berupa sembako maupun uang tunai dari perangkat pemerintahan setempat selama pandemi Covid-19.
Untuk membayar sewa indekos pun, Sumirah menggantungkan uluran tangan para dermawan yang berasal dari warga sekitar dan menggabungkannya dengan uang hasil penjualan keripik.
"Saya kerja seadanya, tempatnya ngekos Rp 250.000 per bulan," kata Sumirah.
Menangis Tak Dapat Bantuan
Selama pandemi Covid-19, baik saat PSBB maupun PPKM saat ini, ia mengaku tak pernah mendapat bantuan sekali pun dari RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan setempat.
"Tidak pernah, saya tidak pernah dapat (bantuan selama Covid-19). Saya sudah tanya RT/RW (terkait bantuan), katanya ndak ada jatahe (jatahnya), bilang begitu, Nak," tutur Sumirah, menitikkan air mata.
Sambil sesekali menyeka air mata dengan hijab hitamnya, Sumirah menjelaskan, dirinya juga tak pernah didata baik oleh pihak kelurahan, kecamatan, maupun petugas dari Pemkot Surabaya lainnya.
Terakhir, pemerintah mendata namanya perihal Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009 dan 2013.
Setelah itu, ia tak pernah lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah hingga saat ini.
Padahal, Sumirah telah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendataan lebih lanjut kepada RT-RW, di antaranya seperti fotokopi KTP, KK, dan SKTM.
Namun, hingga saat ini, dirinya tak kunjung menedapatkan bantuan.
"Saya pernah tanya ke Pak RT, 'Lah kok belum dapat (bantuan) apa-apa, Pak?' Dia bilangnya belum ada jatahnya. Saya sampai pernah fotokopi sampai rangkap 20 pas diminta, ya belum ada kabar apa-apa, belum dapat apa-apa sama sekali," kata dia.
"Saya sampai pernah bilang ke RT RW begini, 'Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? Kok sampai tidak didata?' Lalu diminta KTP, tapi ya begitu, tidak ada kabar apa-apa," tutur dia.
Sumirah mengaku sedih ketika melihat tetangga dan warga lain mengantre bantuan dari pemerintah.
Dia hanya bisa memandangi, sembari berusaha tetap mengucap syukur dalam hati lantaran masih diberi kesehatan hingga saat ini.
"Mulai corona, saya tidak dapat (bantuan) apa-apa, sumpah demi Allah, Nak. Belum pernah juga disenggol (mendapat kabar)," ujarnya.
"Saya lihat orang-orang ambil beras dan duit, hati saya menangis, Nak," sambung Sumirah.
Sedangkan untuk menyambung hidupnya, Sumirah mengaku hanya mengandalkan bantuan dari warga sekitar dan tetangga terdekat.
Meski begitu, Sumirah merasa bersyukur bisa hidup sehat di usianya saat ini.
"Setiap hari dikasih tetangga, saudara-saudara kiri kanan sudah seperti anak dan cucu-cucu saya sendiri," ujar perempuan kelahiran 18 Februari 1932 itu.
Ketika sakit pun, Sumirah mengaku kerap dirawat oleh tetangga dan warga yang peduli terhadapnya.
"Kalau sakit, saya didatangi dan dibantu tetangga dan ibu-ibu PKK. Tapi alhamdulillah, saya belum pernah sakit parah, pernah ke puskesmas, bilangnya sehat semua," tutur dia.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Sintia N |
Editor | : | Sintia N |
Komentar