GridPop.ID - Komunitas ini bisa dibilang tak lazim.
Bagaimana tidak, anggota komunitas mengutamakan penampilan dan tak mempedulikan mereka tinggal di kawasan kumuh.
Melansir intisarionline.com, komunitas ini dikenal dengan nama Sapeur, La Sape, atau Sapology Societe des Ambianceurs et des Personnes Elegantes (Society of Tastemakers dan Elegant People).
Mereka berbasis di kawasan kumuh Republik Kongo, di kota Brazzaville.
Mereka biasa berkumpul dalam balutan pakaian branded, memakai tongkat, dan merokok cerutu di jalan-jalan.
Biasanya, pakaian yang dikenakan nampak berwarna-warni.
Bahkan sekelas dengan orang-orang kelas atas seperti Guci, Luis Vuitton, Balenciaga, dll.
Mereka yang mengidolakan gaya fashion tertinggi ternyata berharap dengan kehidupan yang lebih baik.
Cara hidup pada Sapeur merupakan bagian dari apa yang mereka sebut “ilmu biologi” yang tidak dapat ditegaskan sebagai agama, aliran pemikiran atau gerakan politik.
Praktek sapologi adalah suatu bentuk pelarian, yang oleh banyak pengamat dikatakan memungkinkan mereka untuk melupakan kemiskinan yang melumpuhkan dan masalah ekonomi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Adapun jas dan cerutu merupakan simbol kemewahan dan kekayaan.
Hal itu mewakili tekad dan ambisi untuk gaya hidup Eropa yang ideal.
Busana itu menerangi Brazzaville dan kota-kota tetangga, menawarkan secercah harapanda kemakmuran bagi banyak orang-orang Kongo.
Sapeur bertemu dengan kostum mereka secara rahasia, untuk mengungkapkan ekpresi kebebasan rezim yang keras selama 1960an dan 70an.
Serta berusaha menyingkirkan Kongo dari semua pengaruh kolonial dengan jalan Sapeur.
Pakaian mereka dianggap sebagai tindakan pemberontakan ideologis yang menentang larangan Sese Seko pada pakaian gaya Barat.
Sapeur menolak saat Presiden ingin rakyat Kongo mengenakan pakaian tradisional mereka yaitu, acabac guna menunjukkan dukungan terhadap autentifikasi identitas mereka.
Sebagian besar para Sapeur bekerja sebagai buruh banguna, sopir, hingga pengutil.
Tak jarang mereka mencuri, meminjam uang hanya demi membeli pakaian branded.
Sementara itu dilansir dari Kompas.tv, lahir dan dibesarkan di keluarga sapeur terkenal, de Pereira pada usia tiga tahun sudah belajar dari sang ayah tentang bagaimana caranya tampil gaya dan memadukan berbagai warna pada pakaiannya.
Baginya, tetap tampil perlente menjadi bagian dari kehidupannya sekaligus tugasnya sebagai seorang sapeur.
"Budaya SAPE berarti, yang terutama, kecintaan untuk tampil gaya," ujar de Pereira sambil memamerkan merek-merek yang dia kenakan untuk pertemuan mingguan di bar setempat.
Para sapeur di Brazzaville, Ibu Kota Republik Kongo, biasanya berkumpul di luar bar-bar setempat tiap akhir pekan.
Mereka menikmati bir sambil mengobrol tentang hidup dan kehidupan, menyelipkan sedikit "joie de vivre" dalam kehidupan mereka.
"Jika Anda ingin menjadi sapeur sejati, Anda hanya perlu menghormati trilogi tiga warna, yaitu apa yang kita kenakan tidak boleh lebih dari tiga warna sekaligus," paparnya.
GridPop.ID (*)
Source | : | intisarionline.com,Kompas.tv |
Penulis | : | Ekawati Tyas |
Editor | : | Ekawati Tyas |
Komentar