GridPop.ID - Saat ini, belanja online menjadi incaran banyak orang.
Tak perlu repot berpeluh menuju mal atau toko, juga berjalan menyisir setiap toko untuk mendapatkan barang yang diinginkan.
Selain itu, salah satu kelebihan belanja online adalah harganya yang lebih murah daripada belanja di toko biasa.
Perbedaan harganya bisa sangat jauh karena toko online tak membutuhkan ruangan atau toko untuk disewa juga karyawan yang perlu digaji setiap bulannya.
Sayanganya, bulan madu harga yang miring ini akan segera berakhir.
Sebab, pemerintah akan menerapkan pajak 10 persen setiap jual beli online yang otomatis akan mengerek harga barang naik dari sebelumnya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% akan dikenakan atas pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
PPN ini akan berlaku mulai tanggal 1 Juli 2020.
Pajak ini berlaku buat transaksi di dalam maupun luar negeri, yang mencapai nilai transaksi atau jumlah traffic dan pengakses tertentu dalam kurun waktu 12 bulan.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku usaha, di dalam maupun luar negeri, baik konvensional maupun digital.
Kebijakan ini sesuai dengan rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak beberapa bulan sebelumnya yang akan memungut pajak pertambahan nilai ( PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Dengan demikian, seluruh konsumen yang melakukan aktivitas pembeliaan barang/jasa secara digital harus bayar pajak konsumsi sebesar 10 persen dari harga beli. Hal tersebut berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).
Beleid ini mengatur PPN dan pajak penghasilan (PPh) dalam PMSE.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Hutagaol menyampaikan PPN sangat relevan untuk ditarik saat ini, sebab beberapa negara sudah lebih dahulu menerapkan seperti Australia, Inggris, dan Prancis.
John menjelaskan, pada the Inclusive Framework (IF) on Base Erosion and Profit Shiftinga (BEPS) yang beranggotakan 137 Yurisdiksi termasuk di dalamnya Indonesia, menganjurkan kepada anggotanya untuk memungut pajak tidak langsung misalnya PPN, sales tax atau goods and service tax (GST) atas transaksi digital economy.
“Karena dapat memberikan tambahan penerimaan pajak yang besar dan tidak menimbulkan isu double taxation karena pengenaan pajaknya berdasarkan destination principle,” kata John seperti dilansir Kontan.co.id, Minggu (26/4/2020).
Sebagai gambaran, Kemenkeu mengkaji ada tujuh bentuk dan nilai transaksi barang digital.
Pertama, sistem perangkat lunak dan aplikasi dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,06 triliun.
Kedua, game, video, dan musik mencapai Rp 880 miliar.
Ketiga, penjualan film sebesar Rp 7,65 triliun.
Keempat, perangkat lunak khusus seperti untuk perangkat mesin dan disain mencapai Rp 1,77 triliun.
Kelima, perangkat lunak telpon genggam sebesar Rp 44,7 triliun.
Keenam, hak siaran atau layanan tv berlangganan senilai Rp 16,49 triliun.
Ketujuh, penerimaan dari media sosial dan layanan over the top (OTT) sebanyak Rp 17,07 triliun.
Total nilai transaksi barang digital mencapai Rp 104,4 triliun.
Angka ini merupakan gambaran para tahun 2017.
Setali tiga uang potensi penerimaan PPN mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tariff pajak konsumen sebesar 10 persen yang berlaku saat ini.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama melihat, ke depan potensi penerimaan pajak dari PMSE semakin besar.
Menurut dia, bila perusahaan digital luar negeri tidak dikenai pajak maka akan sangat tidak adil dengan pelaku usaha dalam negeri yang memang sudah memiliki kewajiban pemajakan.
Di sisi lain, untuk PPh dalam PMSE, pemerintah belum punya nyali menarik pajak korporasi perusahaan digital luar negeri.
Sebab, John bilang pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan digital ekonomi dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda.
“Oleh karena itu disepakati solusi jangka panjang yaitu pada akhir tahun 2020 untuk menghasilkan konsensus global dalam memajaki penghasilan dari ekonomi digital yaitu penentuan hak pemajakan nexus dan mengalokasikan laba global secara fairness kepada yurisdiksi pasar sumber dan yurisdiksi domisili,” terang John.
Walaupun jadwal akhir konsensus internasional u sudah semakin dekat, nampaknya bisa diundur.
Sebab, pandemi Covid-19 yang mengakibatkan beberapa agenda pertemuan terpaksa ada yang dibatalkan dan sebahagian lagi ditunda termasuk kemungkinan jadwal IF pada awal Juli 2020 di Berlin.
“Masih ada beberapa bulan ke depan dan semua anggota yurisdiksi IF menghormati long term solution untuk menyelesaikan BEPS Action 1. Berdasarkan hal-hal di atas, penerapan PPN atas PMSE luar negeri akan lebih diprioritaskan terlebih dahulu,” kata John.
John menyampaikan untuk menindaklanjuti Perppu Nomor 1/ 2020, perintah bakal buat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk aturan turunan PPN dalam PMSE.
Sementara, untuk PPh di PMSE dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) diperlukan Peraturan Pemerintah (PP), sambil menunggu konsensus the Organization on Ekonomic for Co-opration and Development (OECD).
(*)