Find Us On Social Media :

Selamat Hari Pramuka ke-60! Berikut Sejarah Gerakan Kepanduan di Indonesia yang Diperingati Setiap 14 Agustus

By Lina Sofia, Minggu, 15 Agustus 2021 | 07:02 WIB

Sejarah Hari pramuka diperingati setiap tanggal 14 Agustus.

GridPop.ID - Hari Pramuka diperingati setiap tahun di Indonesia pada tanggal 14 Agustus.

Di Indonesia sendiri, lambang dari pramuka adalah tunas kelapa.

Ada berbagai makna dibalik gambar tunas kelapa yang dijadikan lambang Gerakan Pramuka.

Dilansir dari Tribunnews.com, tunas kelapa melambangkan setiap anggota Pramuka yang merupakan tunas bangsa Indonesia.

Lambang Gerakan Pramuka diciptakan oleh seorang Pembina Pramuka, yakni Bapak Sumardjo Armodipuro.

Lambang ini sudah digunakan sejak 14 Agustus 1961 lalu, saat Gerakan Pramuka diperkenalkan ke masyarakat.

Sejak saat itulah, lambang tunas kelapa digunakan pada benda-benda Pramuka, seperti bendera, papan nama hingga lencana.

Tahun ini, peringatan Hari Pramuka sekaligus menjadi momentum 60 tahun kiprah Gerakan Pramuka di Indonesia.

Pembentukan Gerakan Pramuka berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka.

Sementara itu, Hari Pramuka yang diperingati tiap 14 Agustus ditetapkan berdasarkan hari pelantikan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka pada 14 Agustus 1961.

Baca Juga: Kesaksian 2 Siswa Selamatkan Temannya yang Tenggelam Terguling-guling saat Susur Sungai, Lempar Akar Panjang Hingga Nekat Lompat ke Derasnya Aliran Sungai yang Banjir

Meski Gerakan Pramuka secara resmi baru lahir pada 1961, namun gerakan kepanduan yang menjadi cikal bakal gerakan kepramukaan telah lama hadir, bahkan sebelum kemerdekaan.

Perjalanan gerakan kepanduan dilansir Kompas.com dari, 30 Juli 2021, kemunculan gerakan kepanduan di Indonesia berawal dari dua orang tokoh organisasi kepanduan Belanda, Nederlands Padvinders Organisatie (NPO) yaitu P.Y. Smits dan Majoor de Yager.

Pada 1912, kedua tokoh itu mendirikan cabang NPO di Jakarta, yang awalnya diperuntukkan bagi remaja dan pemuda Belanda yang tertarik dalam kegiatan kepanduan.

Berselang dua tahun, yakni pada 4 September 1914, nama NPO diubah menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereniging (NIPV) dan mulai menerima anggota remaja bumiputera.

Setelah itu, pada 1916, berdiri organisasi padvinderij nasional pertama bernama Javaanse Padvinders Organisatie (JPO) yang diprakarsai oleh Mangkunegara VII di Surakarta, Jawa Tengah.

Kelahiran JPO mendorong lahirnya berbagai organiasi sejenis yang bernaung di bawah organisasi kebangsaan dan keagamaan yang ada pada saat itu.

Misalnya Hizboel Wathan di bawah Muhammadiyah, Wira Tamtama di bawah Sarekat Islam, Nationale Padvinderij di bawah Budi Otomo, dan Jong Java Padvinderij di bawah Jong Java Mataram.

Terdapat kesamaan dalam gerakan kepanduan pada masa itu, yakni bersikap pro atau mendukung kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.

Baca Juga: Mengenal H Mutahar, Pencipta Lagu Hari Merdeka Ternyata Bukan Orang Sembarangan, Memiliki Gelar Habib Hingga Pendiri Paskibraka

Akan tetapi, sikap tersebut ditentang oleh pemerintah kolonial Belanda yang akhirnya melarang organisasi kepanduan pro kemerdekaan untuk menggunakan nama "padvinder" dan "padvinderij".

Pada 1928, salah satu tokoh nasional, Haji Agus Salim, akhirnya mengusulkan nama "pandu" dan "kepanduan" untuk menggantikan nama yang dilarang oleh Belanda.

Wacana untuk melebur berbagai gerakan kepanduan di Indonesia menjadi satu wadah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928.

Akan tetapi, karena adanya perbedaan asas masing-masing organisasi, maka upaya peleburan itu selalu menemui jalan buntu.

Meski demikian, terdapat beberapa organisasi yang merupakan gabungan dari beberapa gerakan Kepanduan, seperti Persaudaraan Antar Pandu-pandu Indonesia atau PAPI (1928) dan Kepanduan Bangsa Indonesia atau KBI (1930).  

Pada 3 April 1938, PAPI dan KBI menggelar pertemuan di Surakarta, Jawa Tengah, yang kemudian melatarbelakangi terbentuknya Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI).

Tiga tahun berselang, tepatnya pada 19-23 Juli 1941, Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem (Perkino) I berhasil diselenggarakan di Yogyakarta.

Penyelenggaraan Perkino I kemudian diikuti Perkino II di Jakarta pada 6 Februari 1943, meskipun pada saat itu dilarang oleh pemerintah kolonial Jepang.

Baca Juga: Tragedi Susur Sungai SMP N 1 Turi Tewaskan 10 Korban, Polisi Resmi Jebloskan 3 Tersangka ke Dalam Jeruji Besi, Polisi: Kita Sudah Cukup Alat Bukti!

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai organisasi kepanduan di Indonesia mengadakan kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakrta, Jawa Tengah.

Kongres yang digelar pada 27-29 Desember 1945 itu menyepakati terbentuknya Pandoe Rakjat Indonesia pada 28 Desember 1945.

Pada 16 September 1951 lahir suatu federasi kepanduan dengan nama Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) yang bertindak sebagai badan yang mewakili Indonesia di dalam organisasi kepanduan sedunia untuk golongan putra.

Wacana peleburan organisasi kepanduan di Indonesia pun kian menguat, tatkala Presiden Soekarno menyampaikan gagasan tersebut ketika membuka perkemahan nasional federasi kepanduan putri di Desa Semanggi, Ciputat, Kabupaten Tangerang, pada 1959.

Pada 28 Mei 1960, IPINDO, Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia (PKPI), dan Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia (POPPINDO) sepakat meleburkan diri ke dalam badan federasi baru bernama Persatuan Kepanduan Indonesia (PERKINDO).

Tak berselang lama, pada 3 Desember 1960, sidang MPRS membahas tentang Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana, khususnya bidang kepanduan.

Baca Juga: Jadi Tersangka Kasus Susur Sungai Sempor SMP N 1 Turi, Pembina Pramuka Akui Dirinya Pencetus Ide Namun Tinggalkan Peserta Begitu Saja

GridPop.ID (*)