GridPop.ID - Tak banyak yang bisa dilakukan oleh manusia yang harus kehilangan mata penglihatannya.
Ini tak berlaku bagi Parjan (53), warga Pedukuhan Plampang 3, Kalurahan Kalirejo, Kapanewon Kokap, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baginya keterbatasan fisik bukanlah sebuah halangan, ia masih tetap bekerja sebagai penderes nira kelapa.
Ya, Parjan adalah seorang penyandang tunanetra atau buta permanen.
Meski tak bisa melihat sama sekali, Parjan tetap berjuang menghidupi keluarganya.
Pria yang tinggal di Pedukuhan Plampang 3, Kelurahan Kalirejo, Kapanewon Kokap, Daerah Istimewa Yogyakarta itu rela memanjat 40 pohon setiap hari.
Aksi Parjan yang memanjat 40 pohon dalam sehari dengan kondisi mata buta permanen sontak membuat siapa saja terenyuh.
Dilansir TribunnewsBogor.com, Parjan mengalami buta permanen pada usia 40 tahun.
Meski tak mampu melihat, Parjan nyatanya masih bisa memanen nira dari pohon, yakni bahan baku membuat gula merah sekitar 20 liter setiap harinya.
Perjuangan Parjan yang rela memanjat pohon meski tak bisa melihat itu rupanya beralasan.
Parjan yang hidup di rumah dekat jurang seluas 6x13 meter itu mengaku rela bekerja keras demi mewujudkan impiannya.
Parjan ingin menyekolahkan dua anaknya hingga tamat SMA.
Yakni Rizky Dwi Safitri (17) yang mondok di pesantren dan Riana Deni Safitri (15) di sekolah menengah Kokap.
Sejak pukul 04.30 WIB, Parjan sudah beraktivitas di ladang dan tak ragu memanjat pohon setinggi 15 meter guna mengumpulkan nira.
Dengan cekatan, Parjan jeli memanjat pohon hingga 40 banyaknya.
Sesampai di atas pohon, Parjan bersandar pada pelepah dahan, mengambil bumbung bambu (wadah tampung nira) yang sudah penuh nira, ganti dengan bumbung yang baru yang masih kosong.
Parjan menderes dua kali dalam sehari, subuh ke pagi, dilanjutkan sore
Meski tampak cekatan, Parjan nyatanya juga menghadapi kesulitan hal ini lantaran Parjan tak bisa melihat.
“Hitam. Gelap. Tidak ada cahaya. Tidak bisa melihat sama sekali,” kata Parjan di rumahnya.
Mampu memanjat pohon tinggi, Parjan mengaku mengandalkan ingatannya.
Parjan, penderes buta dari Pedukuhan Plampang 3 itu mampu menghasilkan tiga kilogram gula merah.
Semua karena dorongan ekonomi dan masa depan kedua anaknya.
Setiap hari, ia telah melintasi tempat yang sama, jalan di tempat dan pohon yang sama.
Terlebih karena ia sudah melakukan ini sejak usia 15 tahun.
Saat panen besar, Parjan dan Kamsih bisa meraup Rp 1.500.000 dalam satu bulan.
Tapi, kata Parjan, semua habis untuk biaya sekolah anak.
“Uang jajan (karena di pondok), uang baju sekolah, uang kitab. Palingan sisa Rp 500.000 untuk makan dalam satu bulan. Bahkan, LKS untuk 9 mata pelajaran belum dibayar, meski Rp 60.000,” ujar Parjan.
Itu belum termasuk kegiatan kemasyarakatan yang kerap mengeluarkan sumbangan, seperti hajatan, kegiatan gotong royong, lelayu, dan lainnya.
“Seperti hari ini, ya jadinya hanya masak nasi dan goreng tempe saja. Tidak apa prihatin. Ini untuk anak,” kata Kamsih, istri Parjan.
Dilansir dari Kompas.com, kebutaan permanen yang dialami Parjan tak terjadi sejak kecil.
Parjan divonis mengalami kebutaan di usia 35 tahun yang saat itu, anak Parjan yang kedua baru berusia delapan bulan.
Dokter memvonis Parjan akan mengalami kebutaan permanen.
Vonis itu tentu membuat hati hancur, namun, kasihnya pada Kamsih dan kedua anaknya begitu besar.
Setia mendampingi Parjan, Kamsih nyatanya juga membantu pekerjaan sang suami.
Istri Parjan membantu dalam urusan mengolah nira menjadi gula merah.
Kamsih, istri Parjan biasa mengurusi memasak gula mulai pukul 09.30 WIB.
Usaha Kamsih mengaduk nira hingga jadi kental bisa menghasilkan 3 kilogram gula.
Menghasilkan gula bukan pekerjaan terakhir sepanjang hari.
Keduanya masih harus mencari kayu bakar di hutan dan kebun.
Mereka beriring mencari kayu bakar.
Parjan memikul, Kamsih memanggul. Begitu setiap hari.
“Sekarang bapak sudah susah. Bapak sangat terpaksa karena kasihan sama saya,” kata Kamsih.
Parjan, penderes buta dari Pedukuhan Plampang 3, Kalurahan Kalirejo, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Parjan memanjat 40 pohon dalam sehari untuk mengumpulkan 20 liter nira.
Kamsih, istrinya, menghasilkan tiga kilogram gula merah. Semua karena dorongan ekonomi dan masa depan kedua anaknya.
Parjan mengaku masih akan terus bekerja seperti ini, meski penuh keterbatasan.
Ini dilakukan demi kedua anaknya yang harus selesai sekolah, minimal setingkat SMA.
GridPop.ID (*)