Saat itu, depresi ekonomi yang melanda Hindia Belanda mendorong penduduk desa untuk membuat tempe bongkrek sendiri.
Hal ini menyebabkan keracunan pada banyak orang.
Kandungan yang menyebabkan beracunnya tempe bongkrek ini pun diteliti oleh W.K. Mertens dan A.G. van Veen dari Eijkman Institute di Batavia.
Pada 1933, mereka menemukan bahwa penyebab munculnya racun pada tempe bongkrek adalah bakteri Pseudomonas cocovenenans.
Bakteri inilah yang menghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin.
Dalam thesis Asih (2017) yang didasri dari teori Veen (1966) dan Arbianto (1979), asam bongkrek memiliki wujud tak berwarna sementara toksoflavin memiliki wujud berwarna kekuningan yang dapat dilihat secara jelas jika tempe bongkrek beracun.
Racun tersebut dapat menyebabkan masalah pada tubuh, yakni hemolisis yang disebabkan oleh terhambatnya transport gula ke dalam eritrosit.
Selain itu, asam bongkrek juga menghambat metabolisme glikogen dan memobilisasi dan memobilisasi glikogen hati sehingga mengalami hiperglikemia yang fatal.
Dua kasus keracunan tempe bongkrek hanyalah sebagian dari kasus lainnya.
Dalam buku History of Tempeh and Tempeh Product, yang dilansir oleh Shurtleff dan Aoyagi, Arbiyanto Purwo dalam buku Bongkrek Food Poisoning in Java mengatakan terdapat kasus sebanyak 7.216 orang meninggal karena keracunan tempe bongkrek dari 1951 hingga 1975.
Baca Juga: Heboh Ayu Ting Ting Ribut dengan KD hingga Lapor ke Polisi, Terbongkar Fakta Mengejutkan Dibaliknya