GridPop.ID - Menjamurnya pinjaman online perlu diwaspadai karena tidak sedikit yang merupakan pinjol ilegal.
Apalagi kurangnya edukasi di masyarakat membuat banyak yang belum bisa membedakan pinjol ilegal dan bukan.
Bahkan, seperti yang dilansir dari Kompas.com, guru saja bisa menjadi profesi yang paling banyak terjerat pinjol ilegal.
Menurut lembaga riset No Limit Indonesia, profesi guru menjadi kalangan yang paling banyak terjerat praktik pinjaman daring ilegal pada 2021.
Sebanyak 42 persen responden korban jeratan pinjol ilegal berprofesi sebagai guru.
Adapun kalangan lainnya adalah korban pemutusan hubungan kerja (21 persen) dan ibu rumah tangga (18 persen).
Berikutnya karyawan (9 persen), pedagang (4 persen), pelajar (3 persen), tukang pangkas rambut (2 persen), dan ojek daring (1 persen).
Lembaga ini mencatat terdapat 135.681 percakapan dari 51.160 akun media sosial.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari menduga, alasan profesi guru paling banyak terjerat pinjol ilegal lantaran mereka dalam posisi di tengah-tengah.
Baca Juga: VIRAL, Video 3 Guru Perempuan Berkelahi di Depan Siswa, Netizen: Akibat Banyak Nonton Drama
Para guru cenderung sudah bisa mengakses layanan keuangan digital, namun mereka belum bisa membedakan entitas yang legal dengan yang tidak.
“Jadi mereka memiliki kebutuhan pendanaan, tetapi terjerat yang ilegal. Ibu rumah tangga ini juga banyak sekali yang kemudian sampai bermasalah di rumah tangganya karena terjerat pinjol ini, suaminya marah."
"Karyawan banyak juga rekannya di kantor ditelepon eh si ini gak bayar utang," jelas dia.
Lantas bagaimana cara membedakan pinjol legal dan ilegal? Berikut jawabannya seperti yang dikutip dari Kontan.co.id.
1. Regulator/Pengawas
Pinjol ilegal tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatannya. Sedangkan yang legal, atau terdaftar di OJK berada dalam pengawasan lembaga tersebu, sehingga sangat memperhatikan aspek pelindungan konsumen.
2. Bunga dan Denda
Pinjol ilegal mengenakan bunga dan denda yang sangat besar dan tidak transparan. Sedangkan pinjol legal diwajibkan memberikan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dikenakan ke pengguna. AFPI mengatur biaya pinjaman maksimal 0,8 persen per hari dan total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman.
3. Kepatuhan Peraturan
Penyelenggara Fintech Lending ilegal melakukan kegiatan tanpa tunduk pada peraturan, baik POJK maupun peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Sementara yang legal, wajib untuk tunduk pada peraturan, baik POJK, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Pengurus
Tidak ada standar pengalaman apapun yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Fintech Lending Ilegal. Sedangkan yang berizin, direksi dan Komisaris Penyelenggara Fintech Lending yang terdaftar/berizin OJK jelas orang-orangnya dan harus memiliki pengalaman minimal 1 tahun di Industri Jasa Keuangan, pada level manajerial.
5. Cara Penagihan
Pinjol ilegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan hukum. Sementara yang legal, wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan oleh AFPI.
6. Asosiasi Penyelenggara
Fintech Lending ilegal tidak memiliki asosiasi ataupun tidak dapat menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Sedangkan yang legal, wajib menjadi anggota asosiasi yang ditunjuk, yaitu AFPI.
7. Lokasi Kantor/Domisili
Lokasi kantor pinjol ilegal tidak jelas/ditutupi dan bisa jadi berada di luar negeri untuk menghindari aparat hukum. Sementara yang legal, memiliki alamat kantor yang jelas, disurvei OJK dan dapat dengan mudah ditemui melalui penelusuran di Google.
8. Status Penyelenggara
Fintech Lending ilegal tentunya berstatus ilegal, dan menjadi target dari Satgas Waspada Investasi (SWI) bersama Kominfo, Google Indonesia, dan Direktorat Cybercrime Polri. Sedangkan yang legal, tentunya berstatus legal sesuai dengan POJK 77/POJK.01/2016.
9. Syarat Pinjam Meminjam
Pinjaman pada Pinjol ilegal cenderung sangat mudah, tanpa menanyakan keperluan pinjaman. Sementara yang legal perlu mengetahui tujuan pinjaman serta membutuhkan dokumen-dokumen untuk melakukan credit scoring.
10. Pengaduan konsumen
Fintech Lending ilegal tidak menanggapi pengaduan pengguna dengan baik. Sedangkan yang legal, menyediakan sarana pengaduan pengguna dan wajib menindaklanjuti pengaduan, serta melaporkan tidak lanjutnya kepada OJK. Selain itu, pengguna juga dapat menyampaikan pengaduan melalui AFPI, dan OJK. Selain itu, dalam hal terjadi sengketa, pengguna juga dapat difasilitasi oleh OJK maupun lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
11. Kompetensi
Pengelola Pinjol ilegal tidak mewajibkan pelatihan atau sertifikasi apapun. Sementara yang legal, direksi, komisaris dan pemegang saham wajib mengikuti sertifikasi yang diadakan oleh AFPI untuk menyamakan pemahaman dalam mengelola bisnis Fintech Lending.
12. Akses Data Pribadi
Aplikasi Fintech Lending ilegal akan meminta akses kepada seluruh pribadi yang ada di dalam handphone pengguna yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan penagihan. Sedangkan yang legal, hanya diizinkan mengakses Camera, Microphone, dan Location (CEMILAN) pada handphone pengguna.
13. Resiko bagi Lender
Lender pada penyelenggara Fintech Lending ilegal memiliki risiko yang sangat tinggi, terutama risiko penyalahgunaan dana, pengembalian pinjaman yang tidak sesuai, dan/atau berpotensi praktik shadow banking dan ponzi scheme. Sementara yang legal, lalu lintas dana dilakukan melalui sistem perbankan dan segala manfaat ekonomi maupun biaya yang dikenakan kepada Lender dinyatakan secara jelas dalam perjanjian.
14. Keamanan Nasional
Pinjol ilegal tidak patuh pada aturan menempatkan data pengguna di Indonesia dan tidak memiliki Pusat Pemulihan Bencana pada saat terjadi gangguan terhadap sistem elektronik. Sedangkan yang legal, wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Republik Indonesia.
GridPop.ID (*)