Dalam algoritma tersebut tercantum bagan tatalaksana kehamilan pada kasus kekerasan seksual, dimana jika korban kekerasan seksual memilih untuk menghentikan kehamilan alias terminasi kehamilan, maka terminasi kehamilan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Algoritma tersebut pun dengan jelas mengatakan bahwa ‘kehamilan pada penyintas/korban kekerasan seksual merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan, seringkali perawatan kehamilan tidak dilakukan dengan baik sehingga perlu perhatian khusus, selain itu risiko tertular IMS juga harus menjadi perhatian.
Apabila kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari atau sama dengan 40 hari, maka terminasi harus dilakukan di rumah sakit yang sudah ditentukan.
Dalam alur pelaporan dan rujukan untuk perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan pun ketika korban perkosaan ingin menghentikan kehamilannya, maka bisa dirujuk ke rujukan sesuai PMK No.3 Tahun 2016, fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah, dan RS Bhayangkara Semarang.
PMK atau Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2016 berisi tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Namun pada kenyataannya, rujukan layanan aborsi aman di Indonesia belum ada atau bahkan sulit untuk diakses. Belum ada penunjukan rumah sakit secara resmi yang bisa melakukan aborsi aman untuk perempuan korban perkosaan.
GridPop.ID (*)
Artikel ini telah tayang di Parapuan.co dengan judul 'Aborsi Aman untuk Korban Perkosaan, Legal di UU, Miskin Implementasi'